- Judul : : Serial Gigihnya Regu Garuda
- Penulis : Kak Drs. Edy Heri Suasana, M.Pd.
- Episode : 1. Menjelang Randu Gunting
- Seri : 4. Nasihat Ibu dan Bapak
Baca Seri 1 : di sini
Baca Seri 2 : di sini
Baca Seri 3 : di sini
“Hai Narso, Usman, selamat pagi. Selamat datang,” kataku ketika kulihat Narso dan Usman Nur datang, memasuki pintu pagar halaman sambil menuntun sepeda mereka masing-masing. Di boncengan sepeda masing-masing nampak ada barang-barang bawaan yang cukup banyak.
“Selamat pagi.” jawab Narso dan Usman Nur hampir berbareng.
“Aku tunggu sejak pagi, koq nggak datang-datang. Aku khawatir, jangan-jangan kalian nggak jadi datang. Kupikir ada sesuatu pada kalian,” kataku.
Sejak pagi aku memang menunggu mereka berdua datang ke rumahku, sesuai dengan janji dan pembagian tugas yang sudah kami sepakati di dalam musyawarah Regu Garuda. Musyawarah Regu Garuda yang diselenggarakan sejak awal persiapan menghadapi LT I dalam perkemahan ke Randu Gunting, Prambanan, menetapkan bahwa aku, Narso, dan Usman Nur bertugas menyiapkan kebutuhan patok untuk tenda dan untuk kebutuhan perkemahan serta menyiapkan kebutuhan-kebutuhan pendukung sejenis lainnya.
“Maaf, tadi saya ngampiri Narso dulu, jadi kami datang agak terlambat,” kata Usman Nur.
“Maaf ya, kami jadi terlambat. Pagi-pagi saya ngasih makan kambing-kambing saya dulu. Tugas rutin saya setiap hari libur.” Narso menjelaskan alasan keterlambatan mereka berdua.
“Pas saya memberi makan dengan daun-daun pohung, Usman Nur datang. Saya segera berbenah. Sekali lagi, maaf ya,”
“Nggak apa-apa. Ayolah, masuk lah,” kataku.
Usman Nur dan Narso memarkir sepeda mereka di teras kiri rumahku. Bersamaan dengan kedua temanku memarkir sepeda itu, Bapak keluar dari rumah, dan menyapa mereka.
“Selamat datang, Nak….. ayo masuklah” kata Bapak.
“Injih, Pak,” kata Usman Nur dengan sikap yang sangat hormat, diikuti Narso yang kedua tangannya “ngapurancang” setelah tidak lagi memegang stang sepeda.
“Kula nuwun, Pak. Ini kami bertiga mau membuat patok untuk persiapan perkemahan, Pak,” kata Narso.
“Iya, ayolah, masuklah.” kata Bapak sambil tersenyum ramah. Bapak nampak senang menyaksikan kedua temanku bersikap sangat sopan dan mengenal unggah-ungguh. Nampak sekali bahwa sikap mereka adalah sikap anak-anak Jawa yang paham akan budaya yang hadiluhung.
Ibu nampak keluar dari rumah dengan wajah ramah pula.
“Ayolah Anak-anak, masuklah dulu ke rumah,” sapa Ibu dengan ramah pula.
“Injih Pak, injih, Bu,” jawab kedua temanku dengan sangat sopan.
Tetapi Narso berbalik lagi menuju ke sepedanya. Diturunkannya seikat potongan bambu dari sepedanya. Demikian pula Usman Nur, berbalik menuju ke sepedanya dan menurunkan beberapa barang dari sepedanya, termasuk sabit dan pisau. Dengan hati-hati keduanya membawa barang-barang itu ke bawah pohon mangga yang ada di depan sisi kanan rumahku. Diletakkannya seikat potongan bambu dan barang-barang lainnya di bawah pohon mangga itu. Setelah itu, barulah kedua teman aku itu melangkah menuju pintu masuk rumahku.
“Ayolah Nak, masuklah,” kata Ibu dengan ramah.
Usman Nur dan Narso melangkah, menapaki anak tangga pintu rumah. Rumahku dibangun di atas sedikit ketinggian tanah. Untuk memasuki rumah kami, harus meniti tangga dengan empat anak tangga. Dengan posisi rumah yang agak tinggi semacam itu, jika hujan lebat tiba, kami tidak khawatir akan datangnya banjir. Air hujan tidak akan memasuki dan menggenangi lantai rumah kami.
Rupa-rupanya Ibu -yang sudah mengetahui bahwa dua temanku akan datang untuk membuat patok-patok bambu- sudah menyiapkan teh hangat yang terhidang di gelas dan beberapa pisang goreng tepung di piring. Beberapa lembar tissue kertas warna putih tersusun rapih dalam tempat tissue di sebelah piring pisang itu.
“Minum dulu, Nak, sebelum bekerja membuat patok,” kata Ibu.
“Injih, Bu,” jawab Usman Nur.
“Matur nuwun, Bu, kami malah merepotkan, Bu” sambung Narso
“Kami tidak repot koq, Nak. Ini sekalian membuatkan teh hangat buat Bapak. Pisang goreng hangat semacam ini kesukaan Bapak. Jadi sekalian Ibu siapkan untuk bersama-sama kalian.”
Kemudian Ibu masuk ke ruang dalam. Bapak duduk di kursi tamu, membersamai kami. Membersamai aku dan teman-temanku.
“Namamu siapa, Nak?” tanya Bapak kepada Usman Nur.
“Saya Usman Nur, Bapak,” jawab Usman dengan tetap sopan. “Teman saya ini namanya Narso, Pak” Usman Nur sekalian memperkenalkan Narso kepada Bapak.
“Nak Usman dan Nak Narso. Saya senang kalian datang kemari untuk mengerjakan tugas.” kata Bapak. “Saya jadi tahu, siapa-siapa saja teman anak saya di sekolah dan di kepramukaan.”
“Iya, Pak. Terima kasih, Pak,” kata Narso dengan sopan pula.
Bapak dan kami berbincang sebentar tentang kebutuhan patok untuk berkemah ke Randu Gunting Prambanan yang akan dilaksanakan tidak lama lagi, tentang ketersediaan patok yang sudah ada di regu kami, tentang perkiraan kebutuhan patok untuk berkemah, tentang kekurangan patok, dan tentang hal lainnya.
“Jumlah patok yang sudah kami miliki, masih kurang, Pak,” Narso menjelaskan kepada Bapak, bahwa patok yang dimiliki oleh Regu Garuda masih kurang. “Kalau kami menambahnya dengan membeli patok besi, harganya mahal, Pak. Maka kami akan membuat patok-patok dari bambu, agar irit, tidak perlu membeli patok besi.”
“Ya memang harus begitu, Nak Narso,” kata Bapak. “Sekiranya bisa membuat patok sendiri, meski patok bambu, kenapa mesti hartus membeli patok besi yang relatif mahal, kan? Hemat, cermat, dan bersahaja.”
“Iya, Pak. Betul, Pak”
“Cuma, saya ragu, apakah saya akan mampu membuat patok bambu, Pak, karena saya tidak pernah membuat barang-barang dengan menggunakan bambu. Saya juga belum pernah menggunakan sabit serta pisau untuk meraut bambu, Pak’” kata Usman Nur dengan jujurnya.
“Ha ha ha . . . ,” Bapak tertawa mendengar pengakuan Usman Nur yang tidak pernah melakukan pekerjaan “kasar”, seperti membelah bambu dan sejenisnya.
Usman Nur memang berasal dari keluarga kaya, yang segala sesuatunya dapat dicukupi dengan kekayaan oleh keluarganya. Tetapi kami -teman satu regu Garuda- bersyukur pula bahwa Usman Nur yang berasal dari keluarga kaya itu, bersedia bergabung dengan kami dan mengerjakan pekerjaan yang relatif “kasar” itu, termasuk bersedia menyiapkan patok dari bambu. Bahkan dia bersedia bekerja dengan berhemat dan bersahaja pula.
Sedangkan Narso -yang hidup dari keluarga petani- membuat barang yang berasal dari bambu -termasuk membuat patok- bukanlah merupakan pekerjaan yang asing. Narso sudah terbiasa diajak ayahnya untuk bekerja di sawah dan di kebun. Hal inilah yang membuat saya tenang dan menyanggupi kesepakatan regu Garuda, bahwa kami bertiga ditugasi membuat patok dan kelengkapan pendukung lainnya yang menggunakan bambu.
“Tidak apa-apa, Nak Usman,” kata Bapak membesarkan hati Usman Nur. “Nanti Bapak beri contoh cara membuat patok.”
“Benar, Pak? Bapak akan memberi contoh membuat patok bambu?” tanyaku gembira.
“Ya, benar,” jawab Bapak
Mendengar pernyataan Bapak yang bersedia memberi contoh membuat patok, aku menjadi senang. Tentu saja Usman Nur dan Narso demikian pula.
Demikianlah, setelah dipandang cukup berbincang bersama Bapak di ruang tamu, serta sudah minum teh dan menikmati pisang goreng yang hangat, kami segera ke luar untuk membuat patok bambu. Narso membuka ikatan bambu yang tadi dionggokkannya di bawah pohon mangga. Bambu-bambu itu sudah dalam bentuk potongan-potongan hampir sepanjang 50 cm.
“Potongan bambu ini disiapkan oleh ayah saya kemarin sore,” Narso memberi penjelasan, ketika dia melihat bahwa aku memperhatikan tumpukan potongan bambu itu.
“Wah kalau sudah ada potongan bambu sepanjang ini, kita mudah membuat patoknya,” kata Bapak.
“Sini, saya beri contoh membuat patok untuk kemah,” kata Bapak sambil meraih sabit yang semula ada di dekat Usman Nur dengan menggunakan tangan kanannya. Kemudian beliau jongkok dan mengambil satu potong bambu yang dibawa oleh Narso dari rumahnya dan berukuran hampir sepanjang 50 sentimeter dengan menggunakan tangan kirinya.
“Kebetulan, potongan bambu ini memiliki ukuran yang tepat, tebal bambu sekitar 2 cm, lebar sekitar 5 cm sampai 6 cm serta panjang hampir 50 cm. Kalau patok besi, tidak perlu setebal dan selebar patok bambu,” Bapak memulai memberikan penjelasan tentang patok bambu untuk perkemahan.
“Bapak sudah pernah pula berkemah di Randu Gunting ketika muda dulu,” Bapak memberikan penjelasan. “Tanah di sana gembur dan agak berpasir, sehingga diperlukan patok yang agak panjang. Kalau tanahnya merupakan tanah padas, patoknya tidak perlu panjang, apalagi sepanjang ini, nggak perlu. Yang penting patoknya kuat.”
Aku agak tercengang mendengar penjelasan Bapak. Ternyata Bapak sangat paham teknik membuat patok dan paham tentang medan perkemahan di Randu Gunting. Bapakku memang pernah berkemah di Randu Gunting, ketika masih muda dulu. Ternyata bapakku adalah bapak yang luar biasa, yang menbuat aku terkagum dan berbangga padanya.
“Patok untuk kemah ini nanti memiliki tiga bagian, yaitu bagian ujung yang runcing atau tajam, bagian tengah, dan bagian pangkal tempat tali dikaitkan.”
Tangan kiri Bapak menunjukkan satu potongan bambu ke arah kami. Ditunjukkan dan diperagakannya bagian-bagian bambu yang nanti kan menjadi bagian-bagian patok.
“Bagian ujung adalah bagian yang runcing, yang disiapkan untuk masuk ke dalam tanah, maka ujung patok harus tajam.”
Kami serius memperhatikan penjelasan Bapak. Rupa-rupanya Bapak pun sangat paham atas pembuatan patok bambu. Dijelaskannya bagian yang akan menjadi tempat ikatan tali, serta bagian tubuh patok bambu itu. Semua dijelaskan oleh Bapak dengan gamblang-nya. Aku jadi semakin penasaran, jangan-jangan ketika Bapak berkemah di Randu Gunting dulu adalah dalam rangka diri Bapak menjadi Pramuka juga.
Tetapi rasa penasaran saya ini tidak lama. Tanpa ditanya, Bapak menjelaskan ,”Anak-anak, Bapak dulu ketika masih muda juga anggota Pandu, seperti kalian. Hanya saja, pada waktu Bapak muda, pandu-pandu itu terpisah-pisah, tidak menyatu, dan berada di bawah naungan organisasi-organisasi tertentu.
Sekarang, pandu-pandu itu sudah dilebur menjadi satu, menjadi Pramuka, ‘poromuko’, menjadi pasukan terdepan. Ini bagus sekali, menjadi satu, Pramuka tidak terpisah-pisah. Pramuka memang harus bersatu padu dan selalu menjadi yang terdepan dalam berbangsa dan dalam segala kebaikan, jangan ada perpecahan di dalam tubuh Pramuka.
Beruntunglah Pramuka sekarang, berkat tangan-tangan bijak, sejuk, dan menyejukkan dari para pendahulu, berkat Sri Sultan HB IX, pandu-pandu -yang semula terpisah-pisah- sekarang telah disatukan menjadi satu organisasi yang solid: Pramuka, Praja Muda Karana” kata Bapak sambil mengelus lembut punggungku. Aku merasa bangga bahwa Bapak pun adalah seorang Pramuka.
“Ikuti jejak Bapak Pramuka Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX.”
Kalimat ini benar-benar menyemangati aku untuk ber-Pramuka. Aku berharap, teman-temanku pun akan bangga dan bersemangat dengan ber-Pramuka, tempat membentuk karakter anak-anak bangsa yang baik.
“Nah, selanjutnya perhatikan penjelasan Bapak berikut ini. Jika kalian memegang sabit, perhatikan cara memegangnya seperti ini . . .” Bapak memperagakan cara memegang gagang sabit yang benar.
“Cengkeraman tangan pada gagang sabit harus kuat, tetapi lentur dan tidak terlalu tegang. Jika pemegangan gagang tidak kuat, pada saat kalian menebaskan sabit, maka tangan kalian bisa sakit, karena bilah sabit seolah-olah bergerak membalik ke belakang, sehingga akan terjadi gesekan pada telapak tangan kalian. Gesekan gagang sabit pada telapak tangan, akan dapat membuat telapan tangan kalian melepuh dan sakit.”
Kami mendengarkan penjelasan Bapak dengan cermat. Apalagi Usman Nur yang sama sekali tidak pernah menggunakan sabit semacam itu. Bagi Narso, aku yakin bahwa dia sudah sangat paham dengan penjelasan Bapak itu.
“Betul, Pak, cara memegang gagang sabit memang harus begitu,” kata Narso. “Tetapi juga tidak boleh terlalu tegang dalam memegang gagang itu ya, Pak?”
“Bener, Nak Narso,” kata Bapak selanjutnya. “Memegang gagang sabit dengan terlalu tegang, juga akan dapat menyakiti telapak tangan.” Bapak memberi penjelasan sambil memperagakan cara memegang gagang sabit yang benar.
“Nah, sebelum ujung tongkat diraut untuk diruncingkan, bilah-bilah bambu ini harus diraut seluruh permukaannya agar permukaan bambu itu menjadi halus, dan agar sudut-sudutnya tidak melukai tangan pula. Perhatikan caranya, begini.”
Bapak kemudian meraut dan menghaluskan bilah bambu yang beliau pegang di tangan kiri, hingga bilah bambu yang akan menjadi patok itu menjadi halus. Kami mengamati dengan serius semua yang Bapak kerjakan.
Selama ini Bapak memang sering mengerjakan pekerjaan pemeliharaan rumah dan halaman sendiri. Beliau membenahi sendiri -jika ada- bagian pagar rumah kami yang rusak. Beliau pula yang membenahi genteng jika ada yang bocor.
Beliau pula yang membuat lobang tanah untuk menimbun sampah daun yang setiap pagi dan sore jatuh di halaman dan aku sapu. Tugas harianku di rumah adalah menyapu halaman depan dan halaman samping.
Yang bertugas menyapu lantai dalam rumah adalah kakak sulungku, perempuan. Adikku yang masih kecil baru dilatih oleh Ibu membantu-bantu pekerjaan Ibu yang ringan-ringan. Tetapi, semua pekerjaan pemeliharaan atas kerusakan-kerusakan di rumah dan halaman ini Bapak kerjakan tanpa mengajak aku.
Yang aku tahu, semua sudah dibereskan oleh Bapak. Maka ketika kali ini Bapak memberikan penjelasan tentang cara memegang sabit dan cara meraut bambu, bahkan kemudian cara meraut batang bambu dan meruncingkan ujung patok, aku menjadi kagum terhadap bapakku. Ternyata Bapak adalah orang yang cekatan dan mahir pada banyak hal, mahir pada banyak bidang.
“Nah, sudah jelas to, cara membuat patok?” tanya Bapak kepada kami sambil menunjukkan patok yang sangat bagus dan rapih buatan Bapak.
“Sudah, Pak,” jawab kami serentak, termasuk Usman Nur yang semula ragu akan kemampuannya dalam membuat patok.
“Jika demikian, ayo kerjakan, membuat patok sejumlah kebutuhan regu kalian.”
“Baik, Pak” kata Usman Nur dan Narso
“Siap, Pak,” kataku.
“Silakan coba, Bapak akan menunggui sambil mengamati cara kerja kalian. Nanti kalau kalian sudah bisa membuat patok-patok sendiri, dan Bapak anggap kalian bisa saya tinggalkan, maka Bapak akan pergi untuk mengerjakan hal yang lain”
“Baik, Pak” kata kami.
Kami bertiga mencoba membuat patok bambu. Mula-mula Narso lah yang memulai membuat patok yang kedua, karena patok bambu yang pertama tadi sudah dibuat oleh Bapak sembari memberikan penjelasan cara pembuatannya.
Ternyata, Narso pun mampu membuat patok bambu, dengan cara yang sesuai dengan penjelasan Bapak, meskipun hasilnya tidak sebagus patok bambu buatan Bapak. Aku pun mencoba membuat patok bambu dengan menirukan apa yang sudah dilakukan Bapak.
Ternyata aku pun bisa membuat patok bambu, meskipun juga belum sebagus buatan Bapak, bahkan belum sebagus buatan Narso. Tetpi bahwa pada akhirnya aku bisa membuat patok bambu, aku menjadi sangat senang. Ternyata aku bisa.
Sampai beberapa saat, Usman Nur hanya melihat saja apa yang aku dan Narso kerjakan. Setelah beberapa patok bambu jadi, barulah Usman Nur mulai mengikuti kami -aku dan Narso- membuat patok bambu.
Pada mulanya, Usman Nur agak takut-takut memegang sabit, sepertinya takut jika tangannya akan terluka. Demikian pula ketika dia pertama kali memegang bilah bambu yang belum diraut. Tetapi setelah Bapak mendampinginya membuat patok yang pertama baginya, Usman Nur manjadi semakin berani untuk membuat patok bambu sendiri.
Kami menjadi asyik membuat beberapa buah patok bambu. Harus aku akui bahwa Narso memang sangat cekatan dalam membuat patok bambu. Kebiasaannya bekerja di kebun dan sawah membantu ayahnya, membuat Narso terampil dalam mengerjakan pekerjaan semacam pembuatan patok bambu ini.
Tentu saja Narso lebih cepat dalam membuat patok bambu daripada aku. Narso terlihat sebagai anggota Pramuka yang rajin, terampil, dan gembira. Patok yang dihasilkannya pun nampak lebih bagus dan lebih rapih daripada patok buatanku.
Ketika Narso sudah membuat empat buah patok, aku baru memulai membuat patok yang ketiga. Sedangkan Usman Nur baru menyelesaikan satu patok bambu dan sedang memulai pembuatan patok yang kedua.
Di tangan kiri Usman Nur, patoknya yang kedua sedang dihaluskannya dengan menggunakan pisau, sebelum diruncingkan ujungnya. Tangan kanannya masih nampak kurang mantab dalam memegang pisau untuk meraut bambu itu. Sebagaimana aku, Usman Nur pun sedang belajar mengerjakan pekerjaan semacam itu. Namun demikian, kami tetap asyik dalam membuat patok.
Namun keasyikan kami dalam bekerja itu, tiba-tiba terusik dengan kedatangan Ning -adik perempuanku- bersama beberapa temannya. Sejak pagi setelah sarapan, Ning pergi bermain ke rumah tetangga, bersama dengan beberapa temannya.
Kebiasaan Ning setiap bakda sarapan adalah bermain bersama dengan teman-temannya. Kadang mereka bermain di rumah ku, tetapi yang sering dilakukan Ning dan teman-temannya adalah bermain di rumah tetangga, yang memiliki halaman lebih luas dibandingkan dengan halaman rumahku.
Jika sudah bermain dengan teman-temannya seperti itu, Ning sangat sering lupa untuk minum dan bahkan lupa untuk pulang, sehingga pada saat menjelang makan siang, Ibu harus mencarinya ke rumah tetangga itu, menjemputnya. Terkadang Ning hanya pulang sebentar untuk minum, tetapi sesudahnya, dia segera berlari ke rumah temannya lagi.
Kedatangan adikku dan teman-temannya menjadi pengganggu bagi kegiatan dan pekerjaan kami. Rupa-rupanya Ning dan teman-temannya belum puas bermain di rumah tetangga. Kemudian mereka bermain-main di dekat tempat kami membuat patok.
Bahkan mereka mulai ber-ulah, bahkan sesekali ada yang memegang bambu kami yang belum dihaluskan, padahal bambu itu masih bersisi tajam setajam welat. Bahkan ada juga teman Ning yang memegang sabit yang sedang kami pergunakan untuk membuat patok bambu.
Tentu saja bagi anak seusia Ning dan temannya, memegang sabit yang tajam semacam itu, sangat membahayakan diri sendiri. Demikian pula halnya dengan teman-teman Ning yang lainnya. Mereka memegang apa saja yang sedang kami kerjakan.
Bambu-bambu yang masih belum diraut dan masih tajam, dipegangnya untuk dibuat bermain-main. Tentu saja semua perilaku adikku dan teman-temannya itu membuat aku jengkel dan marah. Di samping mengganggu pekerjaanku, hal itu juga bisa membahayakan keselamatan Ning -adikku- dan teman-temannya.
“Ning, Kakak sedang bekerja. Jangan mengganggu kami, ya,” aku mulai menegur Ning. Tentu saja teguran itu juga aku berikan kepada teman-temannya.
“Saya cuma minjam bentar koq, Mas,” Ning membela diri.
“Tetapi jangan memegang sabit dan pisau-pisau ini, berbahaya. Bisa-bisa tanganmu dan tangan teman-temanmu tergores oleh sabit atau pisau-pisau ini. Berbahaya, tahu!” suaraku mulai agak mengeras.
Tentu saja Narso dan Usman Nur tidak akan menegur adikku, karena mereka adalah tamu-tamu. Aku lah yang bertanggung jawab untuk nenegur Ning dan teman-temannya.
Kemudian aku nasihati Ning dan teman-temannya agar mereka tidak bermain-main dengan sabit dan pisau-pisau, demi kebaikan dan keselamatan mereka. Tetapi meskipun aku menasihati Ning -adikku-, karena di dalam diriku juga kadung terisi rasa marah, maka ekspresi nasihatku seolah menjadi ekspresi kemarahan.
Jadilah, aku seolah memarahi adikku dan teman-temannya karena perilaku mereka bisa menghambat pekerjaan kami. Tentu saja nasihatku yang aku tumpahkan menjadi semacam kemarahan itu, membuat Ning -adikku- menangis, bahkan kemudian teman-temannya pun berhenti bermain-main. Ada teman Ning yang sangat takut dengan ekspresi kemarahanku.
Sementara itu, Bapak yang masih berdiri tak begitu jauh dari kami dan memperhatikan caraku menasihati Ning dengan cara yang seolah memarahi adik, Bapak kembali melangkah mendekati kami.
“Jikalau akan menasihati adik, nasihatilah dia dengan cara yang baik, dengan kesabaran dan ikhlas, jangan dengan nada marah, ya! Kalau adikmu kamu nasihati dengan nada marah, nasihatmu itu justru akan membuat adikmu ketakutan dan menangis.” kata Bapak kepadaku, sambil meluruskan caraku menasihati adik agar aku lakukan dengan cara yang baik.
“Tuh, Ning jadi menangis to . . .” Bapak menasihati aku agar berbuat baik kepada adik, termasuk ketika aku menasihatinya.
Ibu pun mendekati Ning dan berusaha meredam tangisnya serta menghibur teman-temannya. Kemudian Ning dan teman-temannya diajak Ibu masuk ke dalam rumah, dan mereka diberi kesempatan untuk bermain-main di dalam rumah.
Di dalam rumah tersedia banyak mainan yang lebih aman dan lebih sesuai dengan usia mereka. Ning dan teman-temannya menjadi enjoy bermain-main di dalam rumah yang lebih teduh dan lebih nyaman bagi anak-anak untuk bermain.
Mereka tidak lagi mengganggu kami dalam bekerja. Ning -adikku- sebenarnya adalah anak yang sangat lucu. Tetapi terkadang (meskipun jarang) dia menjengkelkan sebagaimana perilaku Ning barusan, yang mengganggu kerja kami bertiga. Tetapi tidak mengapa, aku maklum, namanya anak-anak . . .
Dengan teratasinya gangguan dari Ning dan teman-temannya, kami pun menjadi lega dan dapat melanjutkan kerja lagi, membuat patok-patok bambu dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan kami. Ketika kami melanjutkan kerja, kembali Narso menunjukkan kemampuan dan kecekatannya dalam bekerja. Patok-patok yang dibuatnya paling banyak di antara buatan kami bertiga.
Setelah jumlah patok yang kami buat sesuai dengan kebutuhan, serta sudah ditata dan dikemasi dengan baik, Narso dan Usman Nur pun pamit pulang. Tetapi Ibu dan Bapak menahan mereka, belum mengijinkan mereka untuk pulang.
“E . . . jangan pulang dulu. Makan siang dulu, Nak,” kata Ibu. “Ayo masuk, makan siang di dalam rumah.”
Narso dan Usman Nur tidak dapat menolak ajakan Ibu untuk makan siang bersama di dalam rumah kami. Kami bertiga disuruh untuk makan siang terlebih dahulu.
Setelah mencuci tangan dan kaki, kami masuk ke dalam rumah untuk makan siang. Ning dan teman-temannya sudah tidak ada lagi di dalam rumah. Teman-temannya sudah pulang, karena memang sudah tiba waktu untuk makan siang di rumah masing-masing.
Nasi putih hangat, sayur bening masakan Ibu yang dilengkapi dengan sambal tomat yang tidak begitu pedas, dan tempe bacem, sungguh membuat kami makan dengan lahapnya. Waaahhhh … betapa nikmatnya makan siang kami. Ibu menunggui kami makan siang, meski Ibu tidak makan bersama kami.
“Silakan nambah nasinya, lho, Nak. Makan yang lahap, ya, seadanya” Ibu mempersilakan Narso dan Usman Nur untuk menambah nasi.
“Injih, Bu. Matur nuwun,” jawab Narso sopan, sembari menambah nasi dengan mengambilnya dari cething di meja. Di cething itu masih tersedia nasi hangat yang banyak.
“Monggo, Bu. Apakah Ibu tidak dhahar sekalian?” Narso pun mengajak Ibu untuk makan bersama kami.
“Silakan … silakan …. . Nanti Ibu makan siang bersama Bapak,” jawab Ibu.
Menjadi kebiasaan Ibu, makan bersama Bapak. Yang saya tahu, sejak dulu Ibu selalu makan bersama Bapak di rumah. Setelah makan di ruang makan, biasanya Ibu dan Bapak berbincang untuk beberapa saat.
Setelahnya, barulah Ibu mengemasi piring-piring dan perabot lainnya untuk dicuci.
Selesai makan siang, Narso berniat untuk mengemasi piring dan piranti makan lainnya untuk dicucinya. Tetapi Ibu melarangnya.
“Tidak usah dicuci, Nak, biar Ibu saja yang mencucinya,” kat Ibu.
“Iya, Nak Narso, Ibu saja yang mengemasi dan mencucinya, sekalian mencuci piranti memasak lainnya nanti,” sambung Bapak.
“Nah, sembari menanti perut kalian turun, Bapak akan memberi bekal nasihat kepada kalian bertiga jika kalian akan pergi berkemah ke Randu Gunting,” kata Bapak.
“Baik, Pak,” jawab kami bertiga hampir bersamaan.
Kami tidak beranjak dari tempat duduk kami.
Kemudian Bapak menasihati kami bertiga tentang berbagai hal, terutama tentang persiapan kami untuk berkemah ke Randu Gunting. Dengan saksama kami mendengarkan pemberian bekal nasihat yang disampaikan oleh Bapak.
“Nak, kelak di perkemahan, kalian satu regu harus menjaga kekompakan regu, karena di perkemahan, teman-teman satu regu adalah satu kesatuan, ibarat satu keluarga di rumah,” Bapak memulai nasihatnya.
“Berapa orang dalam regu kalian?” tanya Bapak
“Berdelapan, Pak” jawab ku.
“Bagus,” Bapak melanjutkan nasihatnya.
“Tempat kalian akan berkemah -Randu Gunting- adalah tempat yang baru bagi kalian. Sedangkan masyarakat pedesaan yang tinggal di sekitar tempat kalian berkemah itu sudah mempunyai kebiasaan dan tradisi desa, yang sudah mereka terapkan dan lestarikan sejak lama, seperti kebiasaan bergotong-royong, tradisi nyadran, tradisi merti desa, dan sebagainya. Sebenarnya, tradisi-tradisi itu dimaksudkan untuk mewujudkan rasa ketaqwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Di samping itu, kebiasaan dan tradisi di pedesaan kebanyakan ditujukan untuk menjalin kebersamaan masyarakat, untuk bermasyarakat, dan untuk pelestarian alam sekitar. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia. Oleh sebab itu, maka kalian harus menjunjung tinggi kebiasaan dan tradisi masyarakat di tempat yang baru itu. Kebiasaan masyarakat Randu Gunting harus dihormati. Pramuka kan juga harus cinta alam dan kasih sayang terhadap sesama manusia to? Bisa dipahamikah, Anak-anak?”
“Paham, Pak,” jawab kami hampir berbareng.
“Di kampung saya juga ada kebiasaan untuk gotong royong, Pak,” kata Narso.
“Nah, begitulah Nak Narso. Setiap desa dan setiap kampung mempunyai kebiasaan dan tradisi sendiri-sendiri.”
“Kalau dalam buku, sering disebut: desa mawa cara, negara mawa tata,” kata Usman Nur menambahkan.
“Nah, betul, Nak Usman,” kata Bapak.
“Kalau akan ada gotong royong, Pak Dukuh memberi tahu kami sebelumnya, Pak” lanjut Narso.
Selanjutnya Bapak berkata “Oleh sebab itu, agar masyarakat sekitar Randu Gunting bersikap ramah terhadap kalian selama kalian berkemah, kalian harus bersikap hormat dan sopan terhadap mereka.”
“Injih, Pak,”kata Narso pula.
“Anak-anak, di perkemahan, kalian ada di bawah bimbingan dan panduan Kakak-Kakak pembina kalian. Bapak berpesan: hormati dan patuhi Kakak-Kakak Pembina kalian. Mereka adalah pengganti orangtua selama berkemah. Mereka adalah pengganti Bapak dan Ibu selama di Randu Gunting. Ikuti semua perintah beliau-beliau. Juga ikuti kegiatan yang sudah dijadwalkan dengan patuh selama berkemah, sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan dalam perkemahan itu, ya.” pesan Bapak selanjutnya.
“Baik, Pak,” jawab kami serentak.
“Ada lagi pesan Bapak.”
“Apa, Pak?” tanya aku.
“Sebagai umat beragama, jangan lupa kalian selalu berdoa kepada Tuhan Yang Masaesa. Dan sebagai muslim, jangan lupakan sholat lima waktu. Kerjakan. Pramuka itu harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
“Injih, Pak,” kata Narso dan Usman Nur.
“Pak,” kataku.
“Ya?”
“Sekalian, mewakili teman-teman yang lain, kami bertiga mohon doa restu dari Bapak dan Ibu di rumah, mudah-mudahan kami -Regu Garuda- dapat melaksanakan LT I dalam perkemahan di Randu Gunting dengan lancar dan sukses njih Pak.” kataku, seraya memohon doa restu kepada orangtua.
“Tentu, kami -Bapak Ibu- tentu selalu mendoakan anak-anak, agar semuanya berjalan dengan lancar dan sukses, agar anak-anak semuanya -bukan hanya Regu Garuda- tetapi seluruh peserta perkemahan- selalu dalam keadaan sehat wal afiat, tidak ada aral apa pun. Selamat dan sehat sejak berangkat, selamat dan sehat selama dalam perkemahan, serta selamat dan sehat sekembalinya di rumah masing-masing.”
“Aamiin” kami bertiga mengamini doa Bapak. Doa orangtua kepada anak-anaknya, mudah-mudahan terkabul.
Tiba-tiba Ning -adikku- masuk ke ruang tamu. “Pak, aku juga didoakan ya, Pak”
“Didoakan untuk apa, Ning?” tanya Bapak.
“Aku besuk juga mau kemah-kemahan sama teman-teman di halaman,” kata Ning, lucu.
Kami semua tertawa mendengar kata-kata Ning, adikku yang lucu ….
_____
Tentang Penulis : Kak Drs. Edy Heri Suasana, M.Pd., Wakil Ketua Bidang Organisasi, Manajemen, dan Hukum Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Daerah Istimewa Yogyakarta masa bakti 2020-2025