- Judul : : Serial Gigihnya Regu Garuda
- Penulis : Kak Drs. Edy Heri Suasana, M.Pd.
- Episode : 1. Menjelang Randu Gunting
- Seri : 3. Persiapan Berkemah
“Selamat sore, Adik-adik,” sapa Kak Leoni memulai membuka amanatnya sebagai Pembina Upacara Pembukaan Latihan Rabu sore itu.
“Bagaimana persiapan menghadapi LT I? Sudah beres?” tanya Kak Leoni kepada para Penggalang.
“Sudah siap, Kak”
“Beres, Kak.”
“Waaah, … belum tuntas semua, Kak.”
____
Berbagai jawaban terucap dalam suara setengah berteriak dari para Penggalang, mewakili regu-regu. Ada yang menyatakan kesiapannya menghadapi perkemahan LT I ke Randu Gunting Prambanan, ada yang menyatakan belum siap, ada yang menyatakan belum beres, dan sebagainya … dan sebagainya … Betapa bervariasinya jawaban atas pertanyaan Kak Leoni itu.
Kak Leoni nampak tersenyum-senyum, dengan senyum khasnya yang menawan. Beberapa Pembina Pramuka lainnya berdiri di posisi deretan Pembina, seolah mendampingi Kak Leoni yang menyampaikan informasi tentang kesiapan penyelenggara -pihak Gugus Deapan- untuk kegiatan LT I yang dikemas dalam bentuk perkemahan ke Randu Gunting Prambanan.
Kami, anggota Regu Garuda, merasa bahwa untuk menghadapi perkemahan ke Randu Gunting dalam rangka LT I mendatang, belum sepenuhnya siap. Masih ada beberapa hal yang perlu kami persiapkan lebih rinci, termasuk juga adanya beberapa kemampuan teknik kepramukaan yang harus diperdalam lagi oleh sebagian besar anggota Regu Garuda.
Kami juga masih perlu banyak berlatih dalam kemampuan menaksir, baik menaksir kecepatan arus air, menaksir tinggi pohon, dan sejenisnya. Sedangkan waktu untuk perkemahan ke Randu Gunting sudah semakin dekat, tinggal beberapa hari lagi. Kami harus memantabkan persiapan-persiapan kami seoptimal mungkin, baik persiapan mental, persiapan keterampilan, maupun persiapan-persiapan kelengkapan fisik perkemahan, serta persiapan-persiapan lainnya.
“Dengar baik-baik, Adik-adik, Kak Leoni akan menyampaikan beberapa hal terkait dengan rencana LT I ke Randu Gunting. Dengarkan baik-baik, ya …”
Seluruh Penggalang mendengarkan penjelasan Kak Leoni dengan baik. Mereka tidak ingin ada penjelasan dari Kak Leoni yang terlewatkan dan tidak mereka dengarkan. Maka suasana menjadi hening, sehingga Kak Leoni dapat memberikan pengarahannya secara jelas. Dalam suasana upacara pembukaan latihan, kami -seluruh Penggalang- selalu bersikap disiplin, berani, dan setia. Pun dalam kegiatan-kegiatan lainnya.
“Dari Gugus Depan sudah dititipkan surat permohonan ijin untuk kalian mengikuti berkemah, kepada orangtua kalian. Apakah surat itu sudah disampaikan kepada Bapak atau Ibu kalian?”
“Sudaaaaaahhhhh . . . . “ jawab seluruh pesrta upacara pembukaan latihan dengan serentak. Surat permohonan ijin untuk mengikuti perkemahan dalam rangka LT I kepada orangtua peserta didik dari Gugus Depan sudah dititipkan oleh Kak Leoni kepada para Penggalang untuk disampaikan kepada orangtua masing-masing.
Untuk hal yang semacam ini, tentu saja para Penggalang tidak akan melewatkannya. Surat itu langsung diberikan kepada orangtua masing-masing. Dan sampai saat ini tidak ada satu pun Penggalang yang mengeluh karena tidak diijinkan oleh orangtuanya untuk mengikuti perkemahan ke Randu Gunting. Untuk mengikuti sebuah perkemahan -yang akan menguji teknik kepramukaan, pembentukn karakter, serta tingkat kemandirian anggota Pramuka- para Penggalang selalu bersemangat
“Bagus,” kata Kak Leoni.
“Nah, selanjutnya tolong sampaikan pula informasi kepada Bapak Ibu kalian bahwa untuk kegiatan perkemahan itu, seperti proses perijinan perkemahan juga sudah selesai dikerjakan oleh pihak Gugus Depan. Ijin dari aparat yang berwenang -dari kepolisian, dari Dukuh, Lurah, Camat- setempat, juga sudah kami miliki. Jadi, Bapak Ibu kalian tidak perlu mengkhawatirkan tentang ijin perkemahan kita. Okaiiii …?”
“Okaiiiiii …,” jawab para Penggalang serentak. Mereka menanggapi suara “okaiiii” dari Kak Leoni dengan menggunakan nada dan gaya yang sama dengan nada dan gaya yang khas dari Kak Leoni. Kak Leoni memang sering menggunakan kata “okaiiiii” dalam setiap kali pembicaraannya sehari-hari.
“Selanjutnya, Kak Leoni sampaikan juga bahwa kesiapan gugus depan kita untuk perkemahan itu pun sudah baik. Kami sudah menyiapkan transportasi untuk menuju ke Randu Gunting dengan jumlah yang cukup. Moda transportasi kami, aman. Kita tidak menggunakan truk dengan bak terbuka untuk mengangkut kalian. Kami siapkan bus, dengan jumlah memadai. Truk kami siapkan hanya untuk mengagkut barang, termasuk perlengkapan-perlengkapan berkemah. Jadi, orangtua kalian tidak perlu khawatir dan tidak perlu mengantar sampai ke Randu Gunting. Kalian harus mampu mandiri, tanpa orangtua. Okaiiiii ….”
“Okaiiiii ….” jawab para Penggalang serentak. Meski kemudian aku lihat beberapa Penggalang -terutama Penggalang putri- yang pada berbisik-bisik di antara sesama teman mereka satu regu. Dugaanku, mereka tentu kecewa jika tidak diantar oleh keluarga mereka, atau bahkan oleh Bapak dan atau Ibu mereka. Bagi kami masing-masing anggota Regu Garuda, kemandirian memang sudah menjadi tekad kami.
“Dengarkan selanjutnya . . .,” Kak Leoni melanjutkan
“Masing-masing regu sudah Kak Leoni siapkan satu tenda, untuk tenda utama regu. Jika kalian masih merasa perlu menambah tenda lagi, silakan cari sendiri …”
“Horeeee, horeee…. . Okeiiiii …. okeeiiiiii ,” anak-anak berterik-teriak, mendengar bahwa masing-masing regu akan mendapatkan tenda untuk tenda utama mereka masing-masing. Pekerjaan masing-masing regu menjadi ringan, karena tidak perlu untuk mencari sewaan tenda. Hanya regu yang merasa perlu menambah tenda lagi sajalah yang akan mencari tambahan tenda.
“Tetapi … kalian -masing-masing regu- harus menyiapkan tongkat secukupnya. Tongkat-tongkat itu dipergunakan untuk ….”
Kak Leoni melanjutkan arahannya. Tetapi kemudian beliau diam … sambil memandangi ke arah kami, dengan pandangan mengeliling, memandangi semua regu dari ujung yang satu ke ujung yang lain.
Anak-anak diam saja, menanti lanjutan kata-kata Kak Leoni.
Setelah memandang ke seluruh pasukan, Kak Leoni tersenyum sebentar, kemudian kepalanya mengangguk-angguk. Entah apa maksud senyum dan anggukan Kak Leoni itu, aku tak tahu. Di tengah ketegasan beliau, Kak Leoni terkadang sangat-sangat ramah, meskipun kadang-kadang -dengan tiba-tiba- seolah mudah marah. Meskipun setelah marah besar beliau akan tersenyum pula pada kemudiannya.
“Masing-masing regu harus menyiapkan tongkat dengan jumlah yang cukup” Kak Leoni mengulang kalimat sebelumnya. “Tongkat-tongkat itu dipergunakan untuk mendirikan tenda dan mendirikan tenda tambahan, tongkat untuk bendera regu, untuk mendirikan pagar beserta gerbang regunya, tongkat untuk kegiatan-kegiatan dalam LT I.”
“Tanya Kak,” Trusti, dari Regu Mawar mengacungkan tangannya.
“Ya, tanya apa Trusti?” kata Kak Leoni.
“Berarti jumlah tongkat yang harus disiapkan per regu, ada berapa, Kak?”
Pertanyaan Trusti ini sama dengan apa yang sedang saya pikirkan. Sangat mungkin, teman-teman pun berkeinginan untuk mengajukan pertanyaan dengan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan Trusti.
“Ha ha ha . . . ,” Kak Leoni tertawa -dengan ketawa yang seolah dibuat-buat-sambil memandangi Trusti yang tangannya masih teracung, lupa menurunkan tangannya lagi.
“Naaaahhhhh . . . ini pertanyaan yang tidak perlu ditanyakan di sini. . . !“ jawab Kak Leoni sambil memandangi kami dengan pandangan mengeliling lagi, dari ujung barisan ke ujung yang lain. Kemudian pandangan mata Kak Leoni kembali menatap Trusti.
“He, Trusti, tanganmu kenapa? Kenapa tanganmu mengacung terus? Memangnya mau bertanya lagi? Atau ….”
Kami semua memandang ke arah Trusti. Seolah kaget dan gugup dengan acungan tangannya yang tidak segera diturunkan ke samping badannya, Trusti segera menurunkan tangannya ke bawah. Spontan, teman-teman pada ketawa kecil melihat kegugupan Trusti. Bahkan ada anak yang tertawa, mentertawakan Trusti yang tangannya tadi mengacung terus.
Tiba-tiba Iqbal, dari regu Singa mengacungkan tangannya pula, ”tanya Kak Leoni …”
“Ya Iqbal, ada apa?”
Kami menatap ke arah Iqbal, harap-harap cemas, semoga Iqbal juga menanyakan tentang jumlah tongkat yang harus kami siapkan. Nah, benarlah, ternyata Iqbal menanyakan hal itu.
“Kak Leoni, jadinya jumlah tongkat yang harus disiapkan oleh masing-masing regu, ada berapa Kak?” pertanyaan Iqbal seolah mengulang pertanyaan Trusti.
“Haaaaaa….” Kak Leoni menatap tajam ke arah Iqbal. “Hmmmmmmm . . . tadi Trusti sudah menanyakan hal itu. Dan sudah saya katakan bahwa pertanyaan itu tidak perlu ditanyakan ke sini,” tangan kanan Kak Leoni menunjuk ke arah bawah.
Kak Leoni berkata dengan pandangan mata yang tajam menatap Iqbal, serta dengan tangan kanan yang masih menunjuk ke bawah, ke arah tanah.
Tetapi kemudian Kak Leoni meneruskan, “Kalian sudah menjadi Pramuka golongan Penggalang to? Kalian sudah siap mengikuti LT I to? Kalian mestinya bisa berpikir, sesuai dengan kebutuhan regu kalian sendiri-sendiri, berapa jumlah tongkat untuk mendirikan tenda … ber ..” belum lagi Kak Leoni meneruskan kalimatnya, Iqbal langsung menjawab “Dua”.
Kak Leoni menunjuk Iqbal ,” Nah … begitu!”
“Nah . . . begitu, Iqbal, juga adik-adik yang lainnya. Selanjutnya, hitung berapa tongkat yang diperlukan untuk tongkat bendera regu, berapa tongkat untuk pagar, berapa tongkat untuk gapura atau pintu kawasan tendamu, berapa tongkat untuk berkegiatan, berapa tongkat untuk tenda tambahan, berapa tongkat untuk membuat tempat sepatu, untuk tempat piring, dan sebagainya … dan sebagainya. Kalian masing-masing regu bisa menghitung tidak?”
Para Penggalang diam, tidak menjawab.
“Bisa menghitung tidak?” Kak Leoni mengulang.
“Bisa, Kak,” jawab sebagian besar dari kami.
“Nah …. begitu!!! Itu namanya Penggalang. Kemandirian seperti ini harus mulai kalian lakukan.
Bersikaplah mandiri. Buatlah perencanaan yang matang. Hitung kebutuhan tongkat dengan cermat. Hitung kebutuhan pasak dengan cermat. Hitung kebutuhan tali dengan cermat. Hitung kebutuhan-kebutuhan lain dengan cermat. Amalkan Dasa Dharma Pramuka.
Buatlah perencanaan-perencanaan yang cermat. Cermat. Cermat. Cermat. Hemat, cermat, dan bersahaja. Kemudian kembangkan keterampilan-keterampilan dalam teknik kepramukaan. Berlatih dan berlatih. Rajin-rajinlah berlatih agar kalian menjadi terampil.
Kalau sudah terampil, apa pun dapat kalian lakukan dengan mudah. Kalau kalian bisa melakukannya dengan mudah, kalian akan selalu gembira. Itu akan dapat membawa kalian menjadi Pramuka yang rajin, terampil, dan gembira.“
Kak Leoni memberikan arahannya secara jelas. Kami selalu senang setiap kali mendengarkan arahan-arahan beliau yang selalu disampaikan dengan nada yang ceria dan menyemangati.
“Guh Pam, kalau begitu, Regu Garuda juga harus segera menghitung semua kebutuhan perkemahan, Guh. Bener nggak teman-teman?” tanya Sarjono kepada Teguh Pam -sang Ketua Regu Garuda- dan kepada teman-teman satu regu.
Tetapi Teguh Pam masih serius memperhatikan penjelasan Kak Leoni sehingga kata-kata dan pertanyaan Sarjono diabaikan saja. Bahkan menoleh ke arah Sarjono pun, tidak.
“Adik-adik, perlu kalian ketahui pula bahwa untuk tenda sekretariat beserta kelengkapannya, pengeras suara, dan sebagainya, sudah kami siapkan. Jadi untuk kegiatan LT I pada tingkat sekretariat, tingkat kami, semua sudah kami pikirkan dan sudah kami siapkan. Termasuk konsumsi bagi Kakak-Kakak para Pembina serta konsumsi bagi Bapak dan Ibu Guru yang akan mendampingi, sudah kami siapkan. Jadi, jangan lah kalian memikirkan konsumsi kami. Okeeeiiii?”
“Okeeiii . . . .” jawab anak-anak serentak.
“Nah, Adik-adik. Latihan hari ini adalah latihan terakhir bagi kalian, sebelum kita melaksanakan LT I di Randu Gunting Prambanan. Gunakan waktu ini sebaik-baiknya, untuk persiapan akhir. Kalau sesudah waktu latihan hari ini dipandang perlu untuk ditambah, “silahken” nambah waktu untuk pertemuan dan untuk latihan sendiri, masing-masing regu. Kak Leoni tidak akan menambah waktu latihan. Okeeiiii??“ gaya kocak Kak Leoni sambil tersenyum menegaskan bahwa latihan hari ini adalah latihan terakhir yang secara resmi diselenggarakan oleh Gugus Depan.
Kemudian, ”. . . silahken bermusyawarah regu. Rencanakan dengan matang. Hasil musyawarah regu, dicatat, terutama musyawarah tentang kebutuhan perkemahan dalam LT I mendatang. Kemudian, hasil musyawarah masing-masing regu, nanti dilaporkan kepada saya, menjelang upacara penutupan latihan. Okeeeiii???”
“Okeeiiii . . . “ jawab seluruh Penggalang serentak.
Kami -Regu Garuda- memang sudah memperkirakan bahwa waktu latihan kali ini adalah waktu latihan kami yang terakhir. Maka, setelah upacara pembukaan latihan ini diakhiri, kami -semua regu- segera berpencar mencari tempat sendiri-sendiri untuk bermusyawarah dan membuat persiapan akhir dari persiapan perkemahan yang segera akan dilaksanakan di Bumi Perkemahan Randu Gunting Prambanan.
Regu Garuda pun segera mencari tempat yang paling pas bagi kami. Tongkat, tali, dan perlengkapan latihan lainnya kami bawa pula ke tempat yang teduh itu, di bawah pohon preh yang tidak begitu besar, tetapi telau bayangan dedaunannya mampu melindungi cahaya mentari yang sudah tidak begitu terik lagi.
Di bawah pohon itu, rerumputan yang tidak begitu hijau -dan diselingi beberapa butir kerikil kecil- kami anggap cukup untuk dapat kami jadikan alas duduk. Di sebelah barat pohon preh terdapat pohon duwet yang daunnya rimbun, sehingga telau-telau bayangannya semakin menyejukkan bawah pohon preh.
Semilir angin yang bertiup, terasa ikut mendukung pemilihan tempat untuk Regu Garuda pula. Kami pun segera membuat lingkaran kecil di tempat yang nyaman itu, serta kemudian duduk melingkar. Teguh Pam segera memimpin pertemuan kecil regu kami.
Sementara itu, regu-regu lainnya berkelompok-kelompok terpencar. Ada yang berkelompok di teras kelas timur lapangan, ada yang berkerumun di bawah pohon nyamplung, ada yang dengan gagah beraninya melawan sinar matahari yang masih hangat menyinari bumi dan mereka pada duduk-duduk di tengah lapangan, serta di tempat-tempat lainnya lagi.
Kepemimpinan Teguh Pam di dalam Regu Garuda memang sangat bagus. Setiap kali memimpin musyawarah regu, pola kepemimpinannya nampak terencana dan sistematis. Meski bersikap akomodatif terhadap usulan-usulan anggota regu, dia bersikap tegas pula dalam mengambil keputusan. Kami pun patuh atas keputusan sang ketua. Kami patuh dan suka bermusyawarah.
“Teman-teman,” Teguh Pam memulai musyawarah regu.” Kalau tadi Kak Leoni menyampaikan bahwa urusan perijinan perkemahan, ijin ke orangtua kita, transportasi, tenda regu, dan kebutuhan-kebutuhan besar lainnya untuk perkemahan sudah disiapkan oleh Kak Leoni atau oleh Gugus Depan, mari kita rembug kebutuhan untuk regu Garuda dan kebutuhan untuk masing-masing pribadi kita. Okeeii?” gaya Teguh Pam menirukan gaya dan nada Kak Leoni.
Kami aktif dan patuh mengikuti musyawarah regu ini.
“Teman-teman, kebutuhan regu harus kita data dulu,” kata Teguh Pam.
“Betul, sepakat,” kata Usman Nur. “Kebutuhan regu menjadi tanggungbjawab bersama, kita semuanya,” lanjutnya.
“Tul…” Narso mengacungkan jempolnya.
“Kebutuhan regu itu adalah tenda tambahan -jika kita ingin-, …” kata Teguh Pam.
“Sebentar Guh Pam, sebelum lanjut ke pembahasan kebutuhan regu, saya usul …” kataku, menyela kalimat Teguh Pam -Sang Ketua.
“Usul? Apa usulmu?”
“Begini, bagaimana jika kita mendata seluruh kebutuhan perkemahan, lalu baru kita pilah, mana yang menjadi kebutuhan regu dan mana yang menjadi kebutuhan pribadi,” usul aku.
“Waaahhh …. itu memperlama musyawarah,” kata Budi Sulis. “Kita langsung ke persoalan saja.”
“Iya, langsung ke persoalan saja. Sang Ketua, lanjut saja …” kata Bambang Tri.
“Baik-baik,” kata Teguh Pam. “Usul untuk mendata seluruh kebutuhan, memang baik. Kalau kita lakukan, tentu sangat baik, tetapi memang memerlukan waktu lama.”
“Tuuuull … “ kata Yudik Sus. “Kita musyawarahkan dengan praktis saja, karena waktu berkemahnya tinggal beberapa hari lagi, dan kali ini adalah latihan terakhir kita.”
“Oke … “ aku menyetujui pendapat teman-teman satu regu.
“Saya sudah membuat perencanaan persiapan perkemahan itu. Memang sudah saya bedakan mana-mana yang menjadi kepentingan regu Garuda dan mana-mana yang nanti akan menjadi kepentingan masing-masing diri kita.”
“Sip” kata Yudik Sus. “Lanjuuut . . . ”
“Baik.” Teguh Pam selanjutnya. “Kepentingan regu saya bedakan menjadi dua, yaitu kepentingan regu yang harus dipenuhi dan ditanggung bersama -termasuk menanggung dari sisi keuangannya-, dan kepentingan regu yang dapat dipenuhi oleh masing-masing pribadi -dengan cara membawa dari rumah kita masing-masing”
“Waaaahhhh … angel kuwi. Maksudnya?” tanya Narso.
“Kebutuhan regu Garuda yang harus dipenuhi dan -kemungkinan- harus disiapkan dengan mengeluarkan uang, seperti: menyewa tenda tambahan, membeli bendera regu yang sedikit lebih besar dari bendera regu kita, pengadaan tongat regu, tali untuk regu, pathok atau pasak untuk regu, plastik pengaman tenda jika hujan tiba, dan beberapa kebutuhan lainnya.” Teguh Pam menjelaskan.
“Betul. Sip” kata Yudik Sus. “Lanjuuut . . . ”
“Selanjutnya, kebutuhan regu -untuk kepentingan regu- tetapi dapat dipenuhi oleh masing-masing pribadi, seperti: tikar, perlengkapan memasak, ember, panci untuk menanak nasi atau ketel, sebagian tongkat dan tali, dan beberapa yang lain” kata Teguh Pam.
“Betul! Sip” kata Yudik Sus. “Lanjuuut . . . ”
Saya menoleh ke arah Yudik Sus. Kalimat yang diucapkan oleh Yudik Sus, itu-itu saja, dan diulang-ulang. Tetapi Yudik Sus seolah acuh tak acuh saja atas tolehan saya, tetapi bibirnya senyum-senyum geli. Barangkali dia menyadari bahwa kalimatnya terdengar lucu di telinga saya. Usman Nur dan Budi Sulis pun ikut-ikutan tersenyum kecil.
“Nah untuk kepentingan pribadi, kalian harus mengenali diri kalian masing-masing, agar kalian tahu kebutuhan masing-masing apa saja.”
“Maksudnya bagaimana Guh?” tanya Bambang Tri.
Sebenarnya aku sudah memahami arah penjelasan Teguh Pam, tetapi pertanyaan Bambang Tri dan jawaban Teguh nanti tentu akan menguatkan pendapatku sendiri.
“Untuk kepentingan pribadi, tentu kalian masing-masing harus membawa seragam Pramuka, pakaian olah raga, kelengkapan pakaian harian seperti sendal, sepatu, perlengkapan untuk mandi, perlengkapan ibadah, perlengkapan tidur di tenda, perlengkapan pribadi untuk makan dan minum, serta obat-obatan pribadi jika diperlukan karena ada yang mengantisipasi jika ada yang sakit dan sakitnya kambuh.”
Mendengar penjelasan Teguh Pam yang memilah antara kebutuhan regu -baik yeng harus ditanggung dengan berbeaya maupun ditanggung dengan berkontribusi dari rumah-, serta perlengkapan pribadi, aku menjadi semakin paham dan gamblang, hal-hal apa saja yang harus kami persiapkan.
“Baik, Guh Pam, aku sudah jelas,” kataku.
“Teman-teman, jangan lupa, apa yang kita bicarakan ini ditulis. Sarjono, kamu yang bertugas menulis ya!” Teguh Pam menunjuk Sarjono untuk menuliskan hasil musyawarah regu kami.
“Okeeeiiii” jawab Sarjono dengan menirukan gaya Kak Leoni sambil menyiapkan alat tulisnya.
“Saya lanjutkan. Untuk kebutuhan pribadi, kalian masing-masing harus mendata dan menuliskan di kertas kalian masing-maing. Untuk kepentingan regu, kita harus menyiapkan hal-hal yang harus ita tanggung bersama, sekaligus menetapkan iuran untuk kepentingan regu. Untuk kepentingan regu yang dapat disiapkan dengan membawa dari rumah, kita harus membagi bersama. Okeeeiiii?”
“Siap Pak Ketua!!!” jawab Bambang Tri dan Budi Sulis hampir berbareng.
Aku dan teman yang lain pun mengiyakannya.
Teguh Pam kemudian membagi tugas kepada kami. Masing-masing dari kami hartus membawa apa saja untuk kepentingan regu. Kami pun -sebagaimana di awal yang menyatakan siap melaksanakan tugas untuk regu Garuda- menyanggupi tugas yang dibebankan kepada kami masing-masing. Tetapi -pada kemudiannya- ternyata bahwa Budi Sulis yang ditugasi membawa ember dan ketel berkebaratan.
“Wah lhaaaa … kalau saya harus membawa ember dan ketel, saya nggak mau, memberatkan saya untuk membawanya. Toh saya masih harus membawa kebutuhan pribadi saya yang lain to?” kata Budi Sulis.
Kami terhenyak mendengar kata-kata Budi Sulis itu, tidak mengira bahwa di antara kami akan ada yang bersikap seperti itu.
“Kami masing-masing juga sudah mendapatkan tugas,” kata Usman Nur,” dan kami juga membawa kebutuhan pribadi kami masing-masing. Koq kamu menolak tugas regu to?”
“Aku sudah kebagian membawa wajan lho, Bud!” kata Sarjono.
Namun demikian, kami musyawarahkan pula keberatan Budi Sulis atas tugas yang dbebankan kepadanya. Diskusi pun berlangsung dengan serunya. Dan pada akhirnya, Teguh Pam pun merespon pendapat-pendapat anak buahnya dengan arif.
“Baiklah teman-teman, kalau memang Budi Sulis keberatan membawa ember dan ketel, saya berikan opsi kepada Budi -dari dua barang itu- Budi cukup membawa salah satu saja. Silakan, Bud, kamu akan membawa ember atau akan membawa ketel. Nanti yang tidak kamu pilih, akan dibawakan oleh yang lain.” kata Teguh Pam tegas.
Budi Sulis diam, dengan wajah dan pandang mata yang nampak berpikir. Beberapa saat dia terdiam. Namun kemudian …
“Baik, saya kan membawa ketel saja. Saya nggak membawa ember ya.”
“Okei. Baik. Budi Sulis membawa ketel.” Teguh Pam menegaskan. Lalu”Siapa yang membawa ember?”
Pertanyaan Teguh Pam ditujukan kepada kami -seluruh regu Garuda-. Beberapa dari kami saling pandang, termasuk aku. Pada prinsipnya, masing-masing kami siap untuk melaksanakan tugas.
Tiba-tiba, “Saya yang membawa ember’” kata Narso dengan jelas.
“Nah, begitu. Budi Sulis membawa ketel, dan Narso membawa ember.” Teguh Pam menegaskan lagi.
Demikianlah musyawarah Regu Garuda pada sore itu. Cukup seru musyawarah kami. Ada sedikit perbedaan pendapat, tetapi ada solusinya. Ada sedikit rasa keberatan, tetapi juga ada solusinya. Ada sedikit hambatan, tetapi juga ada solusinya.
Demikianlah serunya dinamika sebuah musyawarah. Tetapi musyawarah yang diikuti dengan keikhlasan berbuat dan rasa pengabdian, tentu akan ada solusi terbaik. Sangat mungkin serunya dinamika musyawarah regu semacam ini juga terjadi pada regu-regu lainnya. Bersyukur bahwa semua peserta musyawarah patuh dan suka bermusyawarah.
_____
Tentang Penulis : Kak Drs. Edy Heri Suasana, M.Pd., Wakil Ketua Bidang Organisasi, Manajemen, dan Hukum Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Daerah Istimewa Yogyakarta masa bakti 2020-2025