Sumbu Filosofi Yogyakarta merupakan sebuah gagasan perencanaan tata ruang yang memiliki makna mendalam. Hal ini berbeda dengan kompleks candi atau situs warisan dunia lain yang dapat dengan mudah dikenali berdasarkan bentuk fisiknya.
Sumbu Filosofi Yogyakarta diakui sebagai warisan dunia karena dianggap memiliki makna yang berlaku secara universal. Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia atau World Heritage Committee (WHC) yang diselenggarakan di Riyadh, Arab Saudi, telah mengesahkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai salah satu warisan budaya dunia pada tanggal 18 September yang lalu.
Keputusan ini didasarkan pada dokumen resmi WHC 2345.COM 8B. 39. Dengan resmi diterima oleh Komite Warisan Dunia, Sumbu Filosofi Yogyakarta sekarang telah menjadi bagian dari Warisan Budaya Dunia dengan judul “the Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks”.
Raja Pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah penggagas perencanaan tata ruang ini yaitu berkisar pada abad ke-18.
Mengutip kratonjogja.id, disebutkan pada tahun 1755, Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang juga dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi, mulai membangun Kota Yogyakarta. Pengejawantahan konsep ke dalam tata ruang Kota Yogyakarta dihasilkan dari proses menep atau perjalanan hidup Pangeran Mangkubumi.
Dilahirkan sebagai putra Raja Mataram, Sunan Amangkurat IV, Pangeran Mangkubumi tumbuh besar di lingkungan Keraton Kartasura. Karena perpindahan lokasi istana, berikutnya Pangeran Mangkubumi mengetahui persis seluk beluk Keraton Surakarta.
Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan konsepsi Jawa dengan mengacu pada bentang alam yang ada, seperti gunung, laut, sungai, serta daratan.
Prinsip utama yang dijadikan dasar pembangunan keraton oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah konsepsi Hamemayu Hayuning Bawono. Artinya membuat bawono (alam) menjadi hayu (indah) dan rahayu (selamat dan lestari). Konsep-konsep tersebut diejawantahkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Laut Selatan dan Gunung Merapi sebagai poros.
Lokasi pembangunannya juga dipilih dekat dengan sumber mata air Umbul Pacethokan. Kontur tanah wilayah bangunan keraton lebih tinggi, seperti di atas punggung kura-kura, dengan diapit oleh 6 sungai, 3 di timur, dan 3 di barat, sehingga bebas dari banjir. Selain sebagai perindang, aneka vegetasi juga ditanam di seputar keraton sebagai media menambatkan makna kehidupan.
Konsep perencanaan tata ruang ini didasarkan pada konsep budaya Jawa dan berupa susunan jalan lurus yang membentang dari Panggung Krapyak di selatan hingga Kraton Yogyakarta dan Tugu Yogyakarta di utara. Seperti konsep pemikiran Jawa yang terkenal, Sumbu Filosofi Yogyakarta juga memiliki makna yang sangat dalam.
Dalam simbolisme, gagasan perencanaan tata ruang ini melambangkan harmoni dan keseimbangan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan alam.
Keterkaitan dengan alam ini diwakili oleh lima unsur yang membentuknya, yaitu api (dahana) yang berasal dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari tanah Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), dan angkasa (ether).
Sama juga dengan tiga elemen yang mencakup kehidupan (tubuh, energi, dan jiwa) yang tercermin dalam konsep tata ruang imajiner ini.
Selain itu, bukti peradaban budaya yang terkait dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta dapat dilihat melalui banyaknya tradisi dan praktik budaya Jawa yang dilakukan di sekitar kawasan ini, termasuk acara pemerintahan, hukum adat, seni, sastra, festival, dan upacara ritual.
Bentuk Sumbu Filosofi Yogyakarta
Sumbu Filosofi dari Kraton Yogyakarta membentuk suatu garis lurus yang menghubungkan Tugu Golong-Gilig, Kraton, dan Panggung Krapyak.
Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih dan Panggung Krapyak memiliki makna sebagai simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan. Tugu Golong-Gilig memiliki ciri berbentuk bulatan di bagian atas (golong) dan berbentuk silindris di bagian bawah (gilig), serta memiliki warna putih sehingga dikenal sebagai Tugu Pal Putih.
Tugu Golong-Gilig mencerminkan keberadaan Sultan dalam menjalani kehidupannya. Ini terlihat dari penghormatan yang diberikan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tulus, yang diiringi oleh tekad untuk mencapai kesejahteraan rakyat (golong-gilig) dan didasari oleh niat suci (warna putih).
Di sisi lain, makna filosofis dari Panggung Krapyak yang mengarah ke utara mencerminkan perjalanan hidup manusia, dari kelahiran, masa dewasa, pernikahan, hingga kelahiran anak (sangkaning dumadi).
Alun-alun Selatan merepresentasikan fase hidup manusia yang telah dewasa dan siap untuk menikah (wani), karena sudah mencapai usia baligh.
Sebaliknya, dari Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih ke arah selatan menggambarkan perjalanan manusia menuju Sang Khalik (paraning dumadi).
Kompleks Kepatihan dan Pasar Beringharja melambangkan godaan dunia dan nafsu manusia yang harus dihindari. Di sepanjang jalan Margatama, Malioboro, dan Margamulya, terdapat penanaman pohon asêm (Tamarindus indica) yang melambangkan daya tarik dan pohon gayam (Inocarpus edulis) yang melambangkan keteduhan.
__