- Judul : : Serial Gigihnya Regu Garuda
- Penulis : Kak Drs. Edy Heri Suasana, M.Pd.
- Episode : 1. Menjelang Randu Gunting
- Seri : 2. Berlatih dengan Serius
Baca Seri 1 : di sini
“Mbang, tolong ambilkan tali yang ada di bawah jambu itu,” kata Narso kepada Bambang. “untuk menyambung tali tiang bendera ini” lanjutnya.
Dengan cepat Bambang Tri mengambil tali yang diperlukan, menuju ke bawah pohon jambu. Meski Narso mengatakan “di bawah jambu”, namun Bambang Tri paham akan maksud Narso. Narso, Bambang Tri, Budi Sulis dan beberapa anggota regu Garuda lainnya dengan serius melaksanakan latihan mandiri di halaman belakang rumah Yudik Sus.
Halaman belakang rumah Yudik Sus memang luas. Ada area yang sangat memadai untuk dipergunakan sebagai tempat latihan berkemah. Ada beberapa pepohonan dengan ukuran besar, sedang, dan kecil di tempat itu. Pada beberapa bagian halaman belakang itu terdapat tetanaman bunga yang ditata alami, seakan-akan gerumbul perdu yang bersih dan asri.
Tetapi ada beberapa rumpun rumput liar terlihat seperti gerumbul yang mengisi area lain yang tidak ditumbuhi pohon-pohon besar. Beberapa bebatuan nampak berserakan di bawah rerumputan liar yang terkesan lembab dan agak gelap. Sekilas, nampak ada dua ekor katak di sana. Satu katak yang lebih besar, nampak ada di dekat batu besar hitam. Sementara katak yang lain -yang lebih kecil- nampak nyaman diam di dekat tanah lembab yang agak terlindung dari cahaya matahari pagi.
Beberapa patok agak ke belakang, terdapat sungai kecil yang airnya sangat jernih. Gemericik airnya sayup-sayup terdengar dari tempat kami berlatih. Sepanjang tepian sungai kecil itu tumbuh beberapa pohon kelapa dan jambe pinang. Ada pula beberapa pokok pohon gayam. Di seberang sungai kecil itu terdapat bentangan sawah menghijau. Meski sawah itu tidak terlalu luas dan hanya ada beberapa petak, namun helai-helai daun padinya bergerak menggelombang berirama, ditiup angin yang semilir.
Beberapa burung kecil nampak bertengger di tangkai rumput liar yang tersembul di bentangan sawah itu. Kelompok burung yang lain beterbangan berpindah dari petak sawah yang satu menuju ke petak sawah lainnya, disertai cericit-cericit renyah yang penuh gairah. Benar-benar nuansa alami yang sangat asri. Betapa indah alam ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Manusia harus mensyukuri nikmat Tuhan yang indahnya tiada tara ini.
Dengan mensyukuri nikmat Tuhan ini, manusia akan semakin bertaqwa kepada-Nya. Sayangnya, aku tidak dapat berlama-lama menikmati suasana alam nan indah itu dari tempat kami berlatih, karena kami memang sedang mengadakan latihan kepramukaan secara mandiri, menghadapi perkemahan bulan depan ke Randu Gunting.
Teguh Pam dan aku berlatih membuat “drag-bar”. Narso, Bambang Tri, dan Budi Sulis berlatih mendirikan tenda dan tiang bendera. Sedangkan Yudik Sus, Sarjono, dan Usman Nur berlatih membuat tempat jemuran, tempat sepatu, dan lain-lain. Kami -seluruh anggota Regu Garuda- dengan serius berlatih, untuk mempersiapkan diri menghadapi perkemahan bulan depan yang sangat kami impi-impikan.
Latihan yang kami mulai sejak pagi, mumpung hari libur, demikian mengasyikkan. Demikian asyiknya kami berlatih dengan tugas latihan kami masing-masing, tidak terasa jam menunjukkan pukul 10, saat kami harus beristirahat, sebagaimana jadwal yang kami sepakati. Kami saling menolog dengan teman, sesuai dengan pembagian tugas kami masing-masing. Sesudah beristirahat secukupya nanti, kami akan melanjutkan laihan dengan kegiatan yang berbeda.
“Dragbar-mu bagus dan kuat, Guh” komentar Sarjono setelah memegang, mengamati, dan menguji kekuatan dragbar buatan Teguh Pam dan aku, di saat kami beristirahat.
Aku senyum-senyum saja mendengar komentar Sarjono. Tetapi Teguh Pam menampakkan ekspresi bangganya mendengar sanjungan teman seregunya itu. Sebagai ketua Regu Garuda, Teguh Pam harus mampu menunjukkan keterampilannya dalam teknik-teknik kepramukaan.
“Lihat, coba . . .,” Usman Nur dan Bambang Tri mendekati Sarjono untuk ikut mencoba dragbar buatan Teguh Pam dan aku.
“Waaaahhhh … ini memang dragbar yang dibuat dengan rapih dan kuat ini …” Kata Usaman Nur.
Bambang Tri pun mengangguk-anggukan kepalanya, tanpa komentar. Pujian-pujian semacam itu sangat kami perlukan, untuk saling menguatkan hati kami -sesama anggota Regu Garuda, dan sekaligus menunjukkan bahwa betapa kami dapat bekerja sama serta saling kasih sayang sesama manusia, terutama sesama anggota regu kami.
Budi Sulis, Narso, dan Yudik Sus nampak duduk santai di dekat pagar halaman belakang, sambil menikmati minuman dan beberapa potong makanan yang disediakan oleh keluarga Yudik Sus, untuk beristirahat. Narso nampak sedikit lelah setelah tugasnya berlatih mendirikan tenda dan tiang bendera dari tongkat-tongkat yang dirangkai dan disambung dengan menggunakan tali-temali.
Aku pun kebagian kudapan pula. Di samping sudah membawa minuman sendiri dari rumah, teh hangat yang disediakan oleh keluarga Yudik Sus pun kuseruput pula dengan nikmatnya. Teguh Pam pun pada akhirnya menikmati beberapa potong pisang goreng yang tersedia.
“Priiit … prit … prit …,”
Teguh Pam meniup peluit tanda waktu beristirahat selesai dan akan segera dilanjutkannya dengan latihan berikutnya. Dalam latihan tahap kedua ini, kami bergantian membuat perlengkapan perkemahan. Yang semula berlatih membuat dragbar, berganti akan berlatih mendirikan tiang bendera, yang semula mendirikan tiang bendera, berlatih mendirikan tenda. Demikian seterusnya yang lain-lain, sehingga semua anggota regu diharapkan sangat menguasai teknik-teknik kepramukaan yang berhubungan dengan perkemahan.
Setelah mendapatkan penjelasan dari sang ketua regu, Teguh Pam, seluruh anggota Regu Garuda berpencar menuju ke area masing-masing sambil membawa kelengkapan yang kami butuhkan. Meski hari semakin siang, kami tetap saja bersemangat berlatih.
Namun belum lagi latihan lanjutan dilaksanakan, kesiapan latihan tahap kedua ini tiba-tiba dikejutkan dengan teriakan Narso: “Ular . . . ular . . . ulaaaarrrr ….”
Narso nampak sangat gugup, panik, dan balik berlari spontan menuju ke arah Teguh Pam dan aku. Kami semua segera berkumpul lagi.
“Ada ular? Di mana ularnya?” tanya Teguh Pam.
Narso dengan wajah yang masih ketakutan menunjuk ke arah tumpukan beberapa tongkat yang tergeletak di dekat bebatuan, dekat dengan gerumbul perdu. “Itu …. itu ….” Narso menunjuk ke satu arah di mana nampak ada ular warna coklat muda – coklat tua berlukis kembang, dengan warna kembang agak gelap.
“Itu ular sawa kembang,” kata Yudik Sus. “Tenang saja, teman-teman jangan bergerak, diam saja di situ,” lanjutnya. “amati saja dia. Kalau ular itu bergerak ke arah kalian, barulah kalian menjauh’” kata Yudik Sus.
Yudik Sus dengan setengah berlari balik menuju ke arah rumahnya. Tak lama kemudian Yudik Sus datang lagi bersama Lik, sebutan untuk pamannya.
“Itu lho, Lik, ularnya” Yudik Sus menunjukkan arah ular sawa kembangnya kepada pamannya.
“O itu! Iya bener, itu ular sawah kembang, ular yang masih muda,” kata Lik, paman si Yudik Sus. “Dia ke sini mesti sedang mengejar makanannya …. Dia masih muda, terlihat dari ukuran tubuh dan warna kulitnya.”
“Apakah kalian ada yang melihat katak atau binatang sejenisnya berkeliaran di sini?” tanya Lik -paman Yudik Sus- selanjutnya.
“Ya, saya lihat tadi pagi ada katak di dekat rumpun rerumputan liar di sana’” kataku sambil menunjuk ke arah gerumbul liar yang terkesan agak gelap.
“Ya pantas saja …” kata paman Yudik Sus. “Ular berani bergerak menuju ke suatu arah juga dia sedang lapar dan mengejar mangsanya, seperti katak itu. Kebetulan saja dia bergerak menuju ke arah sini, ke arah kumpulan manusia,”
“Tetapi dia tidak akan mengganggu manusia jika kita tidak mengganggunya,” kata Lik -paman Yudik Sus- selanjutnya.
“Kalau tidak sedang mengejar mangsanya, ular ini dapat saya tangkap dengan aman dan saya singkirkan jauh-jauh dari sini. Tetapi karena dia sedang mengejar katak itu, -artinya ular itu sedang lapar- saya tidak akan menangkap dia, karena akan membahayakan saya. Dia akan mengira bahwa saya memusuhinya atau bahkan dia menganggap saya menyerangnya. Kalau dia merasa diserang, dia akan balas menyerang, bahkan akan menggigit.”
Selanjutnya Lik, paman Yudik Sus, dengan sangat berhati-hati menghalau ular sawah kembang itu dengan menggunakan galah yang agak panjang.
“Ayo pergi, ular. Pergilah ke habitatmu, jangan ganggu keponakan-keponakanku ya …,” kata Lik, paman si Yudik Sus.
Seolah mengerti arti kata paman Yudik Sus, ular itu perlahan-lahan pergi menjauh, menuju ke arah sungai kecil di sebelah halaman belakang ini.
“Nah, anak-anak. Kalian kan anggota Pramuka. Pramuka itu harus cinta alam, seperti cinta pula terhadap makhluk-makhluk-Nya. Juga terhadap ular tadi, jangan kalian bunuh.”
“Anak-anak, ular itu sudah pergi menjauh. Silakan lanjutkan latihannya.” kata paman Yudik Sus.
Kami saling pandang, saling toleh. Aku merasa bahwa gairah untuk melanjutkan latihan di siang itu sudah lenyap. Keterkejutan akan datangnya ular sawah kembang itu, membuat semangatku untuk melanjutkan berlatih, menjadi hambar. Tetapi rupa-rupanya berbeda hal-nya dengan Teguh Pam. Dia masih nampak bersemangat. Demikian juga dengan Yudik Sus.
“Ayo lanjut latihannya,” kata Teguh Pam dengan suara yang masih bersemangat.
“Ayolah,” sahut Yudik Sus.
Tetapi di samping aku, nampak Narso dan Usman Nur tidak lagi bersemangat. Sedangkan Budi Sulis, Bambang Tri, dan Sarjono nampak ragu-ragu.
“Ayo lanjut latihan,” Teguh Pam bersemangat, sambil menatap ke arah aku, kemudian ke arah Narso, Budi Sulis, dan ke arah lainnya.
“Kalian kenapa? Masih takut sama ular yang sudah pergi itu?” tanya Teguh Pam.
Paman Yudik Sus ikut menyemangati,” berlatihlah terus, nggak apa-apa” ular itu tidak akan mengganggu latihan kalian,” katanya.
Dengan memberanikan diri, aku berkata,”aku tidak takut terhadap ular itu, Lik,” kataku. “Tetapi hasrat latihanku sekarang jadi hilang tiba-tiba.”
“Iya, aku juga begitu,” kata Narso.
“Kita tidak boleh patah semangat untuk mendapatkan ilmu dan keterampilan,” kata Teguh Pam. “Ayo lanjut latihannya . . . . semangat …. semangat … semangat!” Teguh Pam memberikan dorongan semangat kepada kami.
Paman Yudik Sus mengamati kami dengan sedikit senyum di sudut bibirnya. Kemudian perlahan-lahan berjalan mendekatiku. “Kenapa kamu hilang semangat?”
“Entahlah, Lik, aku nggak tahu,” jawabku. Tapi kalau teman-teman mau lanjut latihan, lanjut saja. Untuk kali ini aku jadi penonton dulu saja,” kataku.
“Aku juga jadi penonton dulu ya . . .,” Usman Nur megikuti jejakku.
“Aku juga lah . . .,” kata Narso.
“Lah? Kalau kalian nggak semangat lagi, bagaimana kalian akan mampu memiliki keterampilan berkemah dengan baik?” tanya Teguh Pam.
Lik, paman Yudik Sus, berjalan semakin mendekati kami bertiga. Teguh Pam juga berjalan menju ke arah aku dan Narso serta USman Nur. Kepalanya menggeleng-geleng, menampakkan kekecewaannya kepada kami bertiga.
“Sudahlah,” kata paman si Yudik Sus,”kalau memang sudah tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan latihan, malah sekalian kalian semua berkumpul di sini. Lik akan sedikit memberi bekal tentang ular, yang Lik ketahui.”
Rupa-rupanya teman-teman pun setuju dengan usulan Lik, paman Yudik Sus itu. Demikian juga Teguh Pam, nampak setuju juga akhirnya. Teman-teman pada berjalan mendekat, menuju ke arah kami.
“Duduklah,” kata Lik, paman Yudik Sus.
“Dengarkan penjelasan Lik tentang ular ya,” katanya
Tanpa diperintah, kami berkumpul dan duduk di tempat itu dengan tempat duduk seadanya. Saya duduk di sebuah batu yang agak besar. Sedangkan teman yang lain duduk di sembarang tempat, bahkan ada yang dengan santainya duduk di tanah.
Kemudian Lik, paman Yudik Sus, memulai penjelasannya.
“Anak-anak, tadi kalian takut ketika ada ular ya?” tanya Lik.
“Iya, Lik, kami kaget … “ Kata aku.
“Campur takut, Lik” Narso menimpali.
Teman-teman yang lain pun berkomentar dengan komentar yang hampir sama.
“Besuk lagi, jikalau ada ular seperti tadi, kalian tidak usah takut, karena ular tidak menyerang manusia.” paman Yudik Sus mulai memberikan penjelasannya.
“Ular tidak akan menyerang manusia kecuali punya alasan kuat. Jika merasa terpojok, ular akan merasa terancam, barulah ular itu akan menyerang dalam rangka mempertahankan diri. Bahkan jika manusia berjalan menuju jalur yang dilewati ular, kemungkinan ular akan berbalik dan melarikan diri.“
“Ular adalah sahabat kita. Dia akan menjaga keseimbangan ekosistem kehidupan kita.”
“Masak sih? Koq ular sahabat kita, to, Lik? Ular kan musuh kita?” tanya Budi Sulis penasaran.
“Siapa yang mengatakan bahwa ular adalah musuh kita? Kamu saja, kan?”
“Nggak, Lik. Banyak orang mengatakan begitu, Lik,” jawab Budi Sulis.
“Itu anggapan yang keliru! Sekali lagi saya katakan, ular adalah sahabat kita,” kata paman Yudik Sus dengan tegas.
“Nggak percaya, Lik. Masak, ular sahabat kita!” Bambang Tri tidak percaya.
“Anak-anak, begini penjelasannya,”
“Ular membantu kita dengan memakan hama yang mengganggu tanaman kita, sehingga hama-hama -yang pada hakikatnya juga makhluk Tuhan- akan berjumlah sesuai dengan keharmonisan ekosistem di dalam habitat manusia. ULar hanya akan menyerang manusia jika ada alasan yang kuat.”
“Alasan yang kuat, Lik? Maksudnya?”
“Sebenarnyalah ular tidak akan menggigit manusia kecuali jika merasa terancam. Ular adalah binatang yang tidak menyerang tanpa provokasi. Langkah bijak agar tidak terkena gigitan ular adalah jangan mengusik ular. Ular lebih memilih untuk menghindari manusia jika hal itu memungkinkan, bahkan ular kobra sekalipun,” paman Yukdik Sus menjelaskan.
Selanjutnya, ”Ular menyerang manusia hanya jika dirinya merasa terancam. Itu perilaku ular. Bahkan, ular mati sekalipun masih bisa menggigit. Tindakan menggigit adalah salah satu bentuk pertahanan diri mereka dari ancaman. Kebanyakan gigitan ular pada manusia karena faktor ketidaksengajaan atau kebetulan.”
“O, begitu ya, Lik?” kata Sarjoo.
“Iya, begitulah,” jawab Lik, paman Yudik Sus.
“Artinya, kita tidak perlu takut pada ular ya? Yang penting . . .” kata Sarjono selanjutnya, tetapi keburu ditimpali oleh suara Bambang Tri” yang penting kita tidak mengusik ular-ular itu.”
“Nah, ada sedikit tambahan pengetahuan ini, Anak-anak. Jika pada suatu ketika ada seseorang yang digigit ular -entah apa pun penyebabnya, entah karena ketidaksengajaan si ular atau pun sebab lain- ada beberapa langkah yang harus dilakukan” kata Lik selanjutnya.
“Bagaimana cara mengatasinya, Lik?” tanya Bambang Tri.
“Pertama, pastikan apakah gigitan itu merupakan gigitan dari ular berbisa atau bukan. Kemudian bila sudah diketahui bahwa gigitan itu merupakan gigitan ular berbisa, lakukan langkah imobilisasi atau mengurangi gerakan pada korban. Imobilisasi bisa dilakukan dengan memasang alat atau penyangga pada tangan di area gigitan agar korban tidak banyak bergerak. Karena kalau banyak bergerak, itu bisa mempercepat penyebaran bisa. Kemudian si korban sebaiknya banyak minum air.”
“Selanjutnya bagaimana, Lik?” tanya Yudik Sus, kemenakannya.
“Selanjutnya, segera lakukan evakuasi korban dengan sangat berhati-hati,” Lik menjelaskan lebih lanjut.
“Segera evakuasi korban dengan dibawa ke rumah sakit terdekat atau fasilitas kesehatan terdekat, sepeti Puskesmas atau lainnya. Sekali lagi, proses evakuasi korban juga harus dilakukan secara hati-hati. Saat akan diangkat ke dalam mobil, korban diusahakan tidak banyak bergerak. Posisi badan korban diusahakan dalam keadaan menyamping dengan posisi area yang tergigit berada di bawah.”
Lik, paman Yudik Sus menjelaskan lagi. “Posisi kaki korban menekuk. Kita juga terus mengamati korban, melakukan observasi terus-menerus, usahakan jangan sampai muntah. Tetapi jika muntah juga, usahakan agar muntahnya bisa ke luar dengan leluasa, tidak sampai mengganggu pernapasan,” ucapnya.
“Dalam perjalanan atau selama penanganan, korban gigitan ular berbisa harus terus diupayakan dalam keadaan sadar. Jangan sampai dia tertidur karena bisa gagal jantung,” ujarnya.
“Lanjutnya, Lik?” Yudik Sus -kemenakannya- mendesak bertanya.
“Kalau sudah di rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat, selanjutnya menjadi tugas dokter atau tenaga medis lainnya,” jawab Lik, paman Yudik Sus.
Kami bersyukur bahwa Lik -paman Yudik Sus- datang dan memberikan ilmunya tentang ular dan perilakunya, sehingga manakala kami berkegiatan -seperti berkemah- dan menjumpai ular, kami tidak perlu takut tetapi juga tidak boleh menganggu dan mengusiknya. Ternyata Lik -paman Yudiks Dus- sangat memahami ilmu tentang ular dan perilakunya. Ular hanya menggigit manusia jika si ular itu merasa terancam.
Meski kami tidak lagi melanjutkan latihan persiapan berkemah, tetapi penjelasan dari Lik -paman Yudik Sus- sangat penting bagi kami, serta menambah keberanian kami dalam menghadapi tantangan alam. Karena ada ular sawah kembang tadi, lanjutan latihan jadi terhenti dan akan dilanjutkan pada jadwal latihan berikutnya.
Memang sesungguhnyalah bahwa alam beserta segenap isinya ini sangat membantu manusia. Dan seharusnyalah kita mensyukuri nikmat Tuhan berupa alam seisinya yang telah disediakan untuk manusia beserta kemanfaatannya. Janganlah mengkufuri nikmat Tuhan yang tiada terhingga ini. Mudah-mudahan Tuhan memberikan nikmat yang lebih.
_____
Tentang Penulis : Kak Drs. Edy Heri Suasana, M.Pd., Wakil Ketua Bidang Organisasi, Manajemen, dan Hukum Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Daerah Istimewa Yogyakarta masa bakti 2020-2025