PENGANTAR:
Tulisan ini merupakan satu seri tulisan yang terdiri atas 4 (empat) tayangan. Tulisan ini menyampaikan gagasan tentang Pramuka Istimewa ~ Sekilas Tinjauan Regulatif. Tulisan yang satu bersambung ke tulisan berikutnya. Sehingga sidang pembaca perlu membaca keempat tulisan ini, dalam satu rangkaian berseri.
- Seri 1 membahas Latar belakang munculnya inovasi terwujudnya Pramuka Istimewa dan Pramuka Garuda
- Seri 2 membahas Pramuka Istimewa
- Seri 3 membahas pemaknaan kebudayaan dan Membentuk Pramuka Istimewa berarti membentuk karakter “berbudaya Jogja”
- Seri 4 membahas Implementasi Metode Pendidikan Kepramukaan dalam Mewujudkan Pramuka Istimewa
Berikut ini dimulai dari tulisan Seri 3 : Pemaknaan Kebudayaan dan Membentuk Pramuka Istimewa berarti Membentuk Karakter “Berbudaya Jogja
Membentuk Pramuka Istimewa = Membentuk Karakter “Berbudaya Jogja”
Untuk mewujudkan Pramuka Istimewa yang akan mengembangkan nilai-nilai keistimewaan dan kearifan lokal melalui penanaman budaya Yogyakarta, kita perlu menelisik terlebih dahulu pemahaman kita tentang makna kebudayaan.
Budaya sendiri berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akala tau budi (Soekamto, 2012). Kebudayaan kemudian diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal atau budi (Soekamto, 2012).
Dalam bahasa Inggris, budaya disebut dengan istilah culture. Kata culture berasal dari Bahasa Latin yaitu colere yang artinya mengolah atau mengerjakan, dalam konteks ini adalah mengolah tanah atau bertani. Colere atau culture juga diartikan sebagai usaha manusia untuk mengolah alam.
Beberapa pendapat lain tentang kebudayaan dikemukakan oleh Taylor, Selo Sumarjan, Macionis, Koentjaraningrat, Herskovits dan Bryan Malinovski, Levi Strauss, dan lainnya. Berikut ini adalah pendapat-pendapat para ahli tersebut.
E. B. Taylor menyatakan bahwa kebudayaan adalah kompleks yang mencangkup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan Selo Soermardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Berbeda halnya dengan pendapat J. Macionis yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah cara berpikir, cara bertindak, dan objek material yang bersama-sama membentuk cara hidup manusia. Kebudaan meliputi apa yang kita pikirkan, bagaimana kita bertindak, dan apa yang kita miliki.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa: kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, dan tindakan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan belajar.
Sementara itu, Melville Herskovits dan Bryan Malinowski menyatakan bahwa Cultural determinism- segala sesuatu yang ada di masyarakat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat itu sendiri.
Levi Strauss menyatakan bahwa budaya merupakan komponen struktur sosial yang berasal dari alam pemikiran manusia dan dilakukan secara berulang hingga membentuk suatu kebudayaan.
Dan Ralph Linton mengatakan budaya adalah segala pengetahuan, pola pikir, perilaku, ataupun sikap yang menjadi kebiasaan masyarakat dimana hal tersebut dimiliki serta diwariskan oleh para nenek moyang secara turun-temurun.
Demikianlah pendapat-pendapat para ahli tentang kebudayaan. Terdapat beberapa persamaan makna kebudayaan, yakni bahwa kebudayaan itu merupakan suatu sistem, tindakan hasil karya manusia, bersifat turun-menurun.
Dari berbagai pendapat tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan dan tindakan hasil karya manusia yang sudah disepakati bersama oleh masyarakat dan diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun.
Yogyakarta memiliki budaya yang diwarisi dari nenek moyang. Budaya yang ada di kawasan ini merupakan hasil kesepakatan bersama oleh masyarakat di Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pusat budayanya di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan di Pura Pakualaman.
Pusat budaya di Kasultanan dan di Pakualaman -dulu sempat- dinyatakan sebagai budaya njeron beteng, yang terbatas hanya bagi kalangan ningrat. Namun dalam perkembangannya, budaya yang dahulu sempat terkungkung di dalam benteng kraton saja, sekarang sudah merakyat dan membumi, kecuali beberapa hasil budaya berupa tarian yang bersifat sakral serta beberapa hasil budaya tradisi yang memang terbatas hanya untuk lingkungan kraton saja.
Di samping budaya yang sempat terkungkung dalam lingkungan kraton, pada masyarakat pedesaan pun berkembang budaya rakyat yang terpelihara dan berkembang dengan baik. Produk-produk budaya rakyat ini memiliki “konstituen”-nya sendiri, yakni masyarakat yang ada di desa-desa, di dusun-dusun, dan di kampung-kampung.
Sehingga dapat dikatakan ada dua genre besar budaya yang berkembang bersama dengan wilayah budaya masing-masing, yang keduanya saling menghormati dan berkembang bersama. Dua genre besar budaya Jogja inilah yang harus diakui sebagai budaya Yogyakarta. Dan keduanya merupakan warisan nenek moyang yang harus dipelihara dan dikembangkan bersama, termasuk oleh generasi muda yang di dalamnya terdapat Pramuka.
Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan keistimewaannya, memiliki kewenangan dalam bidang kebudayaan yang lebih spesifik. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 mengamanatkan dalam Pasal 31 ayat (1) bahwa kewenangan kebudayaan diselenggarakan untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.
Pasal 34 Undang-Undang ayat (1) tersebut menyatakan bahwa (1)Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan dalam urusan Kebudayaan. Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan bahwa (2) Kewenangan dalam urusan Kebudayaan diselenggarakan untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.
Artinya, pasal ini (yang terdiri atas 2 ayat) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kewenangan dalam urusan kebudayaan. Untuk mewujudkannya, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dapat mengimplementasikan urusan kebudayaan melalui berbagai-bagai jalur dan bidang, salah satunya dapat melalui jalur kepramukaan.
Dalam konteks yang lebih spesifik, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta -melalui Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Daerah Istimewa Yogyakarta bersama dengan jajaran kwartir cabang, kwartir ranting, dan gugusdepan-gugusdepan- dapat mengembangkan anggota Pramukanya untuk membentuk generasi mudanya untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.
Maksud dan tujuan Pemerintah Daerah diberi kewenangan keistimewaan dalam urusan kebudayaan diatur dalam Pasal 35 pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 35, yakni ayat (1) Kebijakan penyelenggaraan Kewenangan Kebudayaan diselenggarakan untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan hasil cipta, rasa, karsa dan karya berupa: a. nilai-nilai; b. pengetahuan; c. norma; d. adat istiadat; e. benda; f. seni; dan g. tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.
Kemudian pada ayat (2) Pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. inventarisasi; b. pendokumentasian; c. penyelamatan; d. penggalian; e. penelitian dan pengembangan; f. pengayaan; g. pendidikan; h. pelatihan; i. penyajian; j. penyebarluasan; k. revitalisasi; l. dekonstruksidan rekontruksi; m. penyaringan; dan n. rekayasa.
Artinya, jika diimplementasikan melalui jalur kepramukaan, tujuan pengembangan kebudayaan bagi generasi muda adalah untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan hasil cipta, rasa, karsa dan karya berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni; dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.
Sedangkan maksud pengembangan kebudayaan bagi generasi muda melalui jalur kepramukaan adalah agar pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan dapat dilakukan melalui inventarisasi, pendokumentasian, penyelamatan, penggalian, penelitian, dan pengembangan, pengayaan, pendidikan, pelatihan, penyajian, penyebarluasan, revitalisasi, dekonstruksidan rekontruksi, penyaringan, dan rekayasa.
Tata nilai yang harus ditanamkan pada generasi muda (baca: anggota Pramuka) lebih lanjut adalah tata nilai budaya Yogyakarta yang mengakar dalam masyarakat. Tata nilai ini harus juga dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat Yogyakarta.
Tata Nilai Budaya Yogyakarta meliputi tata nilai religio-spriritual, tata nilai moral, tata nilai kemasyarakatan, tata nilai adat dan tradisi, tata nilai pendidikan dan pengetahuan, tata nilai teknologi, tata nilai penataan ruang dan arsitektur, tata nilai mata pencaharian, tata nilai kesenian, tata nilai bahasa, tata nilai benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya, tata nilai kepemimpinan dan pemerintahan, tata nilai kejuangan dan kebangsaan, dan, tata nilai semangat keyogyakartaan.
Pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan hasil cipta, rasa, karya yang berupa seni yang mengakar dalam kehidupan masyarakat DIY dan menjadi ciri khas DIY dilaksanakan melalui seni kreatif inti, seni budaya inti, dan seni budaya umum. Seni kreatif inti antara lain seni rupa, seni suara/musik, seni tari/gerak, seni sastra/bahasa, dan seni teater/drama/pertunjukan.
Sedangkan yang dimaksud dengan Seni budaya inti antara lain, film, museum, galeri, perpustakaan, dan fotografi. Seni budaya umum antara lain, heritage, penerbitan, perekaman, televisi dan radio permainan, iklan, arsitektur, desain, dan fashion.
Pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Tata Nilai Budaya Yogyakarta serta hasil cipta, rasa, karya yang berupa seni ditegaskan dalam pasal 36 dan pasal 42, sebagaimana diuraikan dalam paragraf sebelumnya.
Di dalam Pasal 37 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dinyatakan bahwa (1) Pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa pengetahuan diwujudkan melalui pendidikan berbasis budaya; dan ayat (2) Pendidikan berbasis budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya yang meliputi: a. kejujuran; b. kerendahan hati; c. ketertiban/kedisiplinan; d. kesusilaan; e. kesopanan/kesantunan; f. kesabaran; g. kerjasama; h. toleransi; i. tanggungjawab; j.keadilan; k. kepedulian; l. percaya diri; m. pengendalian diri; n. integritas; o. kerja keras/keuletan/ketekunan; p. ketelitian; q. kepemimpinan; dan/atau r. ketangguhan.
Ayat (3) Penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pendidikan formal; b. pendidikan informal; dan c. pendidikan non formal.
Melalui jalur pendidikan nonformal -kepramukaan- inilah pendidikan berbasis budaya dikembangkan, dengan membangun satu perwujudan “Pramuka Istimewa”. Tentu saja, profil Pramuka istimewa yang kemudian terwujud haruslah dapat menunjukkan jati diri sebagai insan yang memenuhi syarat sebagaimana yang digariskan dalam Undang-Undang Keistimewaan dan Perda Keistimewaan tersebut.
Untuk meraih dan mewujudkannya, Pramuka di seluruh Daerah Istmewa Yogyakarta haruslah “sak iyeg sak eka kapti” untuk bersama-sama berkehendak mewujudkannya serta masing-masing harus menjalani “laku” yang ditempuh melalui tahapan-tahapan yang telah ditentukan, sesuai dengan golongannya. Ada semacam Syarat Kecakapan Umum (SKU) menuju Pramuka Istimewa sesuai dengan jenjang (golongannya) masing-masing.
(Bersambung ke seri-4)
____
Tentang Penulis : Kak Drs. Edy Heri Suasana, M.Pd., Wakil Ketua Bidang Organisasi, Manajemen, dan Hukum Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Daerah Istimewa Yogyakarta masa bakti 2020-2025