BANTUL — Peristiwa ini terjadi di bulan Mei tahun 1981, ketika saya menjadi Pembina Pramuka yang Gugusdepan yang berpangkalan di salah satu sekolah wilayah Yogyakarta Selatan.
Gugusdepan kami akan melaksanakan pendidikan kepramukaan bagi adik-adik Penggalang dengan menerapkan beberapa Metode Pendidikan Kepramukaan yang dilaksanakan dalam suatu kegiatan, yakni berkemah.
Melalui perkemahan, kami sekaligus dapat mempergunakan beberapa metode pendidikan kepramukaan, seperti pengamalan Kode Kehormatan Pramuka, belajar sambil melakukan (Learning by doing), penerapan Sistem beregu (patrol system), Kegiatan menantang dan mengandung pendidikan sesuai perkembangan anggota muda, kegiatan di alam terbuka, dan sebagainya.
Ketika itu, dalam beberapa bulan para Pembina Gugusdepan sudah memberikan berbagai materi latihan teknik-teknik kepramukaan -dan sebaliknya- adik-adik sudah sangat menguasainya. Artinya, jika adik-adik dibawa untuk mengikuti suatu kegiatan perkemahan, para Pembina menjamin adik-adik akan mampu untuk mengikuti dan melaksanakannya.
Setelah melalui beberapa kali survei lapangan, para Pembina Gugusdepan mengadakan pertemuan, berdiskusi, dan bersepakat untuk menyelenggarakan perkemahan di sebuah lapangan terbuka di kawasan Pajangan Bantul.
Kami lakukan survei tentang kelayakan lokasi untuk perkemahan, resiko gangguan dan tingkat keamanan lokasi, kapasitas lokasi untuk dapat menampung jumlah peserta perkemahan, tempat untuk MCK, posisi untuk melakukan berbagai kegiatan (untuk upacara, untuk kegiatan halang rintang, dan sebagainya), tanggapan masyarakat sekitar lokasi, dan sebagainya – dan sebagainya.
Kemudian kami menyusun rencana kegiatan dan anggaran yang kami tuangkan ke dalam proposal perkemahan. Perkemahan kami laksanakan dalam tiga hari dua malam. Pada malam terakhir dilaksanakan api unggun sebagai media adik-adik untuk berkreasi seni dan pertunjukan.
Kemudian proposal tersebut kami ajukan kepada Ka Mabigus bersama jajaran Mabigus. Setelah melalui pertemuan dan diskusi, dengan sedikit perubahan, proposal tersebut disetujui untuk dilaksanakan.
Berbagai persiapan teknis kami laksanakan, mulai membuat surat ijin perkemahan ke pemerintah setempat dan ke pemerintah wilayah yang menaungi calon area perkemahan, permohonan ijin ke orangtua adik-adik Penggalang, surat pernyataan kesanggupan adik-adik untuk mengikuti perkemahan, penyiapan tenda-tenda dan keperluan perkemahan lainnya, penyiapan transportasi, sound system, dan sebagainya, sampai ke hal-hal yang renik-renik. Pokoknya, semua persiapan beres lah.
Salah satu dari rangkaian persiapan tersebut adalah meminta ijin ke Pak Lurah, Pak Dukuh setempat, serta kepada para warga yang “kemungkinan” akan “terdampak” oleh kegiatan perkemahan tersebut.
Pada saat kami menghadap Pak Dukuh, beliau menyambut baik akan terselenggaranya perkemahan tersebut, tetapi beliau mewanti-wanti.
“Mas, kami sangat senang adik-adik Pramuka bisa berkemah dan belajar hidup mandiri di wilayah saya. Tetapi kalau adik-adik Pramuka nanti ada gangguan -terutama kalau ada yang mengalami kecurian-, segera panjenengan melapor ke saya ya. Saya dan pemuda dusun siap untuk membantu keamanan,” ujar Pak Dukuh.
Mendengar tanggapan dan support dari Pak Dukuh yang seperti itu, tentu saja kami para Pembina merasa sangat bersyukur. Spontan kami menjawab dengan tegas dan sopan.
“Injih Pak Dukuh, Sendika. Matur nuwun Pak Dukuh sudah berkenan mengijinkan kami untuk berkemah di wilayah Bapak dan bahkan dibantu dengan keamanan. Matur nuwun,” jawab saya dengan penuh semangat.
Tibalah saatnya berkemah. Perkemahan hari pertama dan malam pertama berjalan dengan lancar. Bahkan pada saat Upacara Pembukaan Perkemahan, di samping Ka Mabigus dan jajaran Mabi hadir, Pak Dukuh bersama perwakilan beberapa pemuda dusun pun hadir.
Perkemahan hari kedua pun berjalan dengan lancar. Perkemahan yang diselenggarakan di bulan Mei itu, sudah tidak ada hujan, sehingga semua acara bisa terlampaui dengan lancar.
Sementara itu, adik-adik belum dikejar untuk menyiapkan ulangan umum akhir tahun ajaran di sekolahnya. Adik-adik Penggalang pun terlihat sangat menikmati berbagai kegiatan yang kami lakukan.
Malam harinya, adik-adik mengikuti acara Api Unggun. Adik-adik berkumpul di tengah lapangan. Beberapa Pembina memandu acara Api Unggun tersebut. Ada Pembina yang lain -dengan dibantu beberapa guru yang ikut hadir di malam Api Unggun-melakukan pengawasan terhadap keamanan lingkungan perkemahan. Bahkan Pak Dukuh dan beberapa pemuda dusun hadir pula pada acara tersebut.
Adik-adik menampilkan kebolehan mereka secara beregu di tengah formasi lingkaran besar. Ada yang menyanyi bersama, ada yang berjoget bersama, berdeklamasi, bermain drama, dan berbagai pentas lainnya.
Beberapa pemuda dusun bahkan meminta waktu untuk ikut menyemarakkan acara Api Unggun tersebut dengan menampilkan “dagelan” dan tarian dusun. Adik-adik Penggalang nampak sangat senang dalam mengikuti acara “api unggun” tersebut, sehingga ketika acara Api Unggun berakhir dan api padam, mereka terlihat masih merasa masih kurang.
Seolah-olah mereka ingin menghabiskan malam terakhir itu dengan bernyanyi dan bersuka ria, sampai pagi tiba. Tetapi kepatuhan atas jadwal yang sudah ditetapkan, tetaplah berlaku. Mereka harus segera kembali ke tenda masing-masing untuk beristirahat.
Setelah Pembina memberikan perintah agar adik-adik segera menuju ke tenda msing-masing, barulah mereka berjalan berduyun-duyun menuju ke tenda. Pada saat adik-adik pada kembali ke tenda, terjadilah hal yang menggemparkan. Sekelompok Penggalang putri menjerit-jerit histeris.
Ada beberapa penggalang putri yang langsung berlari menuju ke tenda pembina putri.
“Kak … Kak … ada makhluk ….,” teriak sebagian dari mereka.
“Ada yang masuk ke tenda saya …,” teriak Penggalang putri yang lain.
Ketika para Pembina disertai oleh pemuda dusun yang ikut hadir pada saat itu menuju ke tenda adik-adik yang terlihat ketakutan dengan menjerit-jerit, kami -para Pembina- terkejut setengah mati. Namun tidak demikian dengan pemuda yang menyertai kami.
“Tidak apa-apa, Pak Guru,” kata pemuda yang menyertai kami itu. “Peristiwa ini yang kami -para pemuda- tunggu”, lanjutnya.
Pemuda dusun itu -yang belakangan saya kenal namanya Wagiman- berjalan cepat menuju ke kerumunan pemuda dusun yang lain, yang sudah berkumpul di dekat tenda putri yang dimasuki makhluk itu. Saya menyusulnya. Beberapa Pembina yang lain, menyusul kemudian.
Ternyata dari salah satu tenda putri telah keluar binatang yang mirip babi hutan, dengan tubuh yang tidak terlalu besar. Tetapi ada yang aneh pada tubuh “babi” itu. Di perutnya melingkar sebuah “setagen” warna kehitam-hitaman.
Babi yang baru keluar dari tenda itu dikejar oleh beberapa pemuda dusun dan seolah digiring menuju ke arah tertentu. Pada posisi tertentu itulah sudah disiapkan jebakan oleh pemuda yang lain. Akhirnya babi itu terperangkap masuk ke dalam sebuah kandang.
Seorang pemuda yang bernyali besar segera merogoh “setagen” yang melingkar pada tubuh babi itu. Dari balik setagen itu, dikeluarkanlah banyak uang dan dompet, yang ternyata ada beberapa dompet milik adik-adik peserta kemah.
Setelah semua barang dikeluarkan dari balik setagen, babi itu diusung dibawa menuju ke arah dusun. Dompet-dompet milik adik-adik yang terdeteksi pemiliknya, segera kami kembalikan kepada pemiliknya. Tetapi dompet yang tidak beridentitas dan uang yang tidak terwadahi dalam dompet, belum dapat kami kembalikan kepada pemiliknya pada malam hari itu juga.
Kami -para Pembina bersama Ka Mabigus dan beberapa guru yang hadir pada malam Api Unggun itu- segera berkumpul di sekretariat panitia perkemahan, untuk mendiskusikan angkah-langkah berikutnya yang harus kami kerjakan pada sisa malam itu hingga siang , sampai saat perkemahan itu ditutup dan adik-adik pulang. Pada saat itulah Pak Dukuh disertai oleh seorang pemuda dusun yang bernama Mas Wagiman datang ke tempat kami berdiskusi.
“Sugeng dalu, Pak Kepala Sekolah, Pak Guru-Bu Guru, dan Mas-Mas serta Mbak-Mbak Pembina,” sapa Pak Dukuh ketika beliau memasuki sekretariat perkemahan dan bergabung dengan kami.
“Sugeng dalu, Pak Dukuh, sugeng dalu Mas Wagiman. Monggo bergabung dengan kami,” sambut Kepala Sekolah, selaku Ka Mabigus.
“Matur nuwun,” kemudian Pak Dukuh menlanjutkan,” mohon maaf, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu atas terjadinya peristiwa tadi. Peristiwa ini memang saya perkirakan akan terjadi, dan ternyata memang terjadi. Oleh sebab itu, diam-diam saya sudah menyiapkan para pemuda, di bawah komando Wagiman, untuk ikut menjaga dan mengamankan perkemahan ini.”
Kami sedikit agak terkejut campur terheran-heran mendengar penyataan Pak Dukuh itu. Sudah diperkirakan oleh Pak Dukuh? Sudah menyiapkan pemuda?
“Lha, bagaimana to Pak Dukuh, koq Pak Dukuh sudah memperkirakan bahwa peristiwa itu akan terjadi,” tanya saya penasaran.
“Iya Mas, benar Pak Kepala Sekolah, yang saya khawatirkan akhirnya terjadi,” jawab Pak Dukuh. Begini ceritanya.
Kemudian Pak Dukuh menceritakan bahwa sudah beberapa bulan terakhir warga dusun mengalami kehilangan, terutama uang dan dompet-dompet yang berisi uang. Pada malam hari beberapa warga ada yang sempat melihat adanya binatang mirip babi yang berkeliaran.
Warga kemudian menghubung-hubungkan antara peristiwa kehilangan uang dan dompet dengan munculnya makhluk mirip binatang babi hutan yang berkeliaran pada malam hari di dusun tersebut.
Maka ketika akan diselenggarakan perkemahan di dusun tersebut, Pak Dukuh memperkirakan akan terjadinya peristiwa kehilangan di kawasan perkemahan. Untuk itu, Pak Dukuh menyiapkan pemuda-pemuda dusun untuk mengatisipasinya.
“Yang penting, uang adik-adik yang hilang sudah diketemukan dan sudah kembali kepada pemiliknya,” kata Pak Dukuh mengakhiri ceritanya.
“Tetapi banyak uang yang masih kami tahan, Pak Dukuh, karena tidak jelas pemiliknya. Kalau dopet yang ada identitasnya, tadi sudah saya kembalikan kepada anak-anak. Tetapi uang dan dompet yang tidak jelas pemiliknya, baru besok pagi akan kami umumkan dan kembalikan kepada pemiliknya,” kata teman kami, sesama Pembina Gugus Depan.
“Kami sangat berterima kasih atas bantuan Pak Dukuh, Mas Wagiman, dan pemuda-pemuda dusun yang sudah membantu menjaga dan mengamankan perkemahan ini, Pak Dukuh,” kata Kepala Sekolah.
“Injih Pak Kepala Sekolah, sama-sama,” jawab Pak Dukuh. “Kami juga beruntung, dengan perkemahan ini, misteri kehilangan uang pada warga kami, bisa terkuak pelakunya.”
“Lalu, siapa pelakunya itu, Pak Dukuh?” tanya saya penasaran dan spontan.
Pak Dukuh menoleh dan memandang ke arah saya. Beberapa saat, saya dipandanginya dengan sorot matanya yang “sareh”. Wajahnya yang memang nampak sebagai wajah yang ramah, nampak tersenyum saja. Saya tidak paham apakah arti senyum Pak Dukuh itu. Senyum yang mengandung misteri dan melemparkan pertanyaan balik ke saya.
Sampai berakhirnya perkemahan tersebut, saya tidak memahami arti senyum Pak Dukuh yang mengandung misteri itu. Bahkan, sampai sekarang pun tidak terkuak makna senyum Pak Dukuh itu.
Pengalaman di perkemahan ini merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi kami dalam menyelenggarakan perkemahan bagi adik-adik binaan kami. Seumur saya, mengalami peristiwa semacam itu ya baru pertama kali itu lah. Peristiwa itu terjadi di tahun 1981, empat puluh tahun yang lalu.
Mudah-mudahan di era digital ini tidak lagi terjadi peristiwa semacam itu. Di masa kehidupan modern dengan teknologi informatika yang semakin bawel ini, tantangan perkemahan tentulah tidak sama dengan tantangan pada masa lalu.
Pembina Pramuka yang akan menyelenggarakan perkemahan bagi adik-adik binaannya, harus melakukan survei sampai ke hal-hal yang renik. Komunikasi dengan masyarakat dan tokoh setempat, sangatlah perlu.
Koordinasi dengan pihak-pihak terkait, akan dapat mempermudah Pembina Pramuka dalam mengatasi persoalan jika ada permasalahan yang muncul. Pendampingan dari Ka Mabigus dan jajarannya, sangatlah diperlukan. Perencanaan yang tertuang dalam proposal perkemahan, sangat mendukung keberhasilan perkemahan.
Mudah-mudahan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan kepramukaan ke depan mengacu pada SOP Penyelenggaraan kegiatan di luar ruang yang sudah diterbitkan oleh Kwarda DIY. Semoga.
___
Tentang Penulis : Kak Drs. Edy Heri Suasana, M.Pd., Wakil Ketua Bidang Organisasi, Manajemen, dan Hukum Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Daerah Istimewa Yogyakarta masa bakti 2020-2025