Berbagai tantangan dihadapi dunia pendidikan, termasuk pendidikan kepramukaan, karena kehidupan yang makin kompleks sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada satu sisi, tetapi tidak diimbangi dengan keberhasilan dalam pembentukan karakter yang dapat menangkal dampak negatif kemajuan tersebut.
Berikut ini beberapa hal tantangan tersebut dari kaca mata pendidikan: (1) Tersedianya lautan informasi yang dapat diakses secara bebas oleh anak didik dapat menjebak anak didik pada hal-hal yang merugikan, baik dari segi substansi maupun waktu; (2) Kemudahan mendapatkan sesuatu hanya dengan ‘klik’ telah mendorong terciptanya budaya ‘serba instan’ penuh ketidaksabaran.
Selanjutnya (3) Kemajuan IPTEKS bersama kemajuan industri telah menyuguhkan berbagai macam kemewahan yang sangat menggoda, dan telah mendorong berkembangnya gaya hidup konsumtif; dan (4) Kemampuan teknologi informasi dengan berbagai aplikasi membuat anak didik terlalu asyik dengan dunia maya dan lupa bersosialisasi.
Dari sekolah banyak tantangan, empat tantangan inilah yang perlu dijawab oleh dunia pendidikan agar kemajuan benar-benar dapat memberikan sebesar-besar manfaat dan sekecil-kecil dampak negatif.
Keempat tantangan tersebut sebagian besar dapat dijawab dengan: (1) memfasilitasi pemerolehan memerlukan keterampilan navigasi dan keterampilan berpikir kritis untuk mendapatkan dan sekaligus memilih informasi yang bermanfaat untuk kemajuan diri; (2) memfasilitasi berkembangnya keuletan dan etos kerja keras dalam diri peserta didik;
Kemudian (3) memfasilitasi penanaman nilai kesederhanaan/kesahajaan dalam diri peserta didik; dan (4) memfasilitasi pengembangan keterampilan komunikasi sosial dan kolaborasi. Dengan keberhasilan menjawab tantangan-tantangan di atas, pendidikan akan mampu memfasilitasi terbentuknya kepribadian yang mampu menjaga dan membangun NKRI secara berkelanjutan, baik dari segi lahiriah/fisik/alam lingkungan maupun segi mental/batiniah/moral sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Pendidikan kepramukaan memiliki peluang besar untuk berkontribusi pada keberhasilan menjawab tantangan tsb. karena Gerakan Pramuka untuk membentuk setiap pramuka agar memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, dan memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa dalam menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamalkan Pancasila, serta melestarikan lingkungan hidup. (Pasal 4, UU No. 12/2010 tentang Gerakan Pramuka, selanjutnya disebut UUGP).
Bagaimana tentang predikat Pramuka Istimewa? Predikat “Pramuka Istimewa” dapat diraih setelah pramuka ybs. berhasil membina diri, dengan didampingi oleh pembina, melalui proses belajar mengetahui, memahami, dan mengamalkan Trisatya, Dasadarma Pramuka, dan nilai-nilai luhur budaya DIY yang istimewa dalam konteks pendidikan di DIY.
Terkait dengan kebutuhan menjawab empat tantangan di atas, prioritas dapat diberikan kepada empat jawaban di atas.
Konteks Pembinaan Pramuka Istimewa
Pendidikan kepramukaan di DIY dilaksanakan dalam konteks pelaksanaan Perda No. 5/2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya, yang di dalamnya diatur bahwa pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di Daerah berdasarkan Sistem Pendidikan Nasional dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya (Pasal 2), yang mencakup:
(1) kejujuran; (2) kerendahan hati; (3)ketertiban/kedisiplinan; (4) kesusilaan; (5) kesopanan/ kesantunan; (6)kesabaran; (7) kerja sama; (8) toleransi; (9) tanggung jawab; (10) keadilan; (11) kepedulian; (12) percaya diri; (13) pengendalian diri; (14) integritas; (15) kerja keras/ keuletan/ketekunan; (16) ketelitian; (17) kepemimpinan; dan/atau (18) ketangguhan.
Salah satu tujuan dari Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya adala untuk “menyiapkan generasi muda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta tanah air dan bangsa, berjiwa luhur, berbudaya, menjadi teladan, rela berkorban, kreatif dan inovatif serta profesional.”
Tata nilai yang dipegang di DIY, yang diatur dalam Pasal 4 Perda No. 4/2011 tentang Tata Nilai, mencakup: (a) tata nilai religio-spriritual; (b) tata nilai moral; (c) tata nilai kemasyarakatan; (d) tata nilai adat dan tradisi; (e) tata nilai pendidikan dan pengetahuan; (f)tata nilai teknologi; (g) tata nila penataan ruang dan arsitektur; (h)tata nilai mata pencaharian; (i) tata nilai kesenian; (j)tata nilai bahasa; (k) tata nilai benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya; (l) tata nilai kepemimpinan dan pemerintahan; (m) tata nilai kejuangan dan kebangsaan; dan (n) tata nilai semangat keyogyakartaan.
Mengingat bahwa pendidikan kepramukaan di DIY pada intinya adalah pembentukan karakter Pramuka Istimewa, maka penanaman nilai-nilai karakter yang disebut dalam UUGP dan Perda No. 5/2013ini perlu diintegrasikan ke dalam program kegiatan kepramukaan di DIY, dengan memberikan perhatian lebih pada upaya (1) mengembangkan keterampilan berpikir kritis, (2) menanamkan nilai keuletan dan etos kerja keras, (3) menanamkan nilai hidup sederhana dan kerendahan hati, dan (5) mengembangkan keterampilan berkomunikasi dan berkolaborasi.
Strategi
Penanaman nilai melalui proses yang digagas oleh Ki Hajar Dewantoro, yang kebetulan sama dengan yang digagas Lickona oleh tokoh pendidikan karakter di dunia internasional: ngerti (knowing the good), ngrasa (feeling/loving the good), dan nglakoni (acting the good).
Tentu nilai-nilai itu sangat abstrak bagi peserta didik sehingga diperlukan upaya untuk membuatnya lebih konkret. Penanaman nilai tidak cukup dilakukan dengan memberitahu, melainkan perlu dengan cara menunjukkan contoh konkret amalan nilai-nilai yang dimaksud.
Contoh konkret dapat disuguhkan dengan cara melibatkan peserta didik untuk mengeksplorasi kepribadian seorang tokoh teladan yang kiprahnya dalam kehidupan mencerminkan pengamalan nilai-nilai mulia.
Dalam hal penanaman nilai kesederhanaan dan kerendahan hati, para pramuka dapat meneladani Bapak Pramuka Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang sudah diakui dunia nasional dan internasional atas kesederhanaan dan kerendahan hatinya melalui sikap dan perilaku semasa hidup, yang terkenal sangat merakyat dan rendah hati serta hidup sederhana meskipun beliau seorang Raja.
Ketiga nilai ini sangat menentukan keseluruhan kiprah orang dalam memanfaatkan sumber daya. Namun, dalam meneladaninya, diperlukan pemaknaan kembali untuk pramuka zaman NOW:
- Jiwa merakyat ini mesti dimaknai kembali, menjadi sikap demokratis (mengakui dan menghormati hak berpendapat orang lain), tidak memaksakan kehendak, tidak diskriminatif dengan alasan apapun, dan menghargai orang karena martabat kemanusiaannya, bukan hanya karena kedudukannya. Dicontohkan bagaimana beliau menolong pedagang Beringharjo dengan memberi tumpangan dan mengangkat dan menurunkan barang dagangan dan bagaimana beliau memberi tumpangan seseorang dalam perjalanan ke Bandung saat beliau Menhan.
- Rendah hati dapat dimaknai kembali dengan menjauhi perbuatan riya’, yaitu berbuat baik hanya sekedar mencari pujian dan popularitas.
- Hidup sederhana dapat dimaknai kembali dengan menjauhi praktik konsumtif, yang dapat menyeret ke perbuatan korup, yang sangat merugikan bangsa dan negara. Dalam hal ini diperlukan kemampuan untuk membedakan hal-hal yang primer dari hal-hal yang sekunder ditambah sikap solidaritas pada sesama. Dengan demikian, para pramuka akan dilatih untuk memanfaatkan sumber daya yang ada tanpa dengan memfokuskan pada hal-hal yang primer sehingga dapat membantu sesama yang masih membutuhkan.
- Etos kerja juga dapat diidentifikasi dalam kinerja Bapak Pramuka Indonesia, baik sebagai Pimpinan Puncak Gerakan Pramuka (Ka Kwarnas 4 periode , 1961-1974) maupun saat beliau menjadi pejabat tinggi negara (11 kali jadi Menteri, 2 kali jadi WaPM, Wapres). Cerita bahwa meski beliau Wapres, beliau mendirikan tenda sendiri saat ada kegiatan di Malang, itu sesuatu yang luar biasa.
- Nilai-nilai luhur dapat ditanamkan ke dalam diri Pramuka lewat proses:
- Memahami nilai-nilai luhur tersebut (ngerti)
lewat diskusi eksploratif-refelktif tentang kisah-kisah BPI dan (tokoh-tokoh lain DIY) yang mencerminkan amalan nilai-nilai terkait misalnya patriotisme, untuk mencapai pemahaman tentang hakikat nilai sehingga dapat mengidentifikasi situasi yang relevan untuk pengamalan nilai-nilai tersebut. - Merasakan nilai-nilai luhur tersebut (ngrasa)
– lewat simulasi, bermain peran, dan drama ttg peristiwa yang mengandung nilai-nilai sasaran
– menulis kreatif tentang cerita (cerpen) yang mengandung nilai-nilai
– menulis akademis untuk menempatkan nilai-nilai dalam wacana kekinian - Mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam konteks yang ada (nglakoni)
lewat berbagai kegiatan yang melibatkan proses pembuatan keputusan bersama, yang melibatkan pertarungan baik vs. buruk, disiplin vs. santai, kerja keras vs. kerja santai, orientasi jangka pendek vs. orientasi jangka panjang, kepentingan pribadi vs. kepentingan umum
- Memahami nilai-nilai luhur tersebut (ngerti)
Selanjutnya, para pramuka di DIY juga perlu mengenal, memahami, dan mencintai budaya istimewa DIY. Untuk ini, telah dicanangkan program tayangan video berisi hasil wawancara tentnag topik-topik budaya DIY, yang mengakar kuat sesuai dengan perjalanan sejarah Yogyakarta. Beberapa topik adalah “Yogyakarta pernah menjadi Ibukota Negara RI”, “Sejarah Keistimewaan Yogyakarta”, dan “Kraton Yogyakarta”.
Tayangan video juga akan menampilkan informasi antara lain tentang tokoh penting seperti Ki Hajar Dewantoro, situs budaya penting seperti Prambanan, museum, batik sebagai warisan budaya yang telah diakui dunia, kuliner khas DIY dan lain-lain.
Kemudian, untuk pengembangan etos kerja, pramuka juga bisa belajar dari kegigihan perjuangan mempertahankan kemerdekaan pasca proklamasi, utamanya saat Yogyakarta menjadi ibukoka negara RI, yang diserang oleh Belanda.
Untuk pengembangan ketermapilan komunikasi dan kolaborasi, pramuka telah dan akan terus silabtkan dalam berbagai kegiatan bersama, baik secara luring maupun daring. Salah satu yang bisa dipertimbangkan adalah Kemah dengan Tenda Antar Kelompok Budaya/ Kemahiran (TAKBK) yang akan memfasilitasi pertukaran pribadi dan saling memahami.
Dalam TAKBK ini peserta didik dapat belajar bekerja sama dan bekerja sama untuk belajar guna mencapai hasil belajar tanpa ada yang ketinggalan (Slavin dkk, 1985). Mereka juga berkolaborasi dengan memanfaatkan kelebihan masing-masing untuk membantu mengatasi kelemahan yang ada.
Penanaman nilai memerlukan proses panjang karena pembelajaran afektif ini melalui tahapan berikut: Menerima, Menanggapi, Menghargai, Mengorganisasi, dan Karakterisasi.
Penananam nilai telah ditemukan berhasil jika dilakukan dengan menerapkan kearifan lokal (Madya & Ishartiwi, 2019). Ini masuk akal kareka kearifan lokal sangat berkenaan dengan konteks di mana kehidupan peserta didik melekat. Dengan menerapkan kearifan lokal, segala sesuai akan terasa melekat pada diri peserta didik.
Penilaian
Penilaian hasil penanaman karakter sebaiknya disesuiakan dengan hirarki pembelajaran ranah afektif seperti diilustrasikan pada Gambar 2 di atas dengan menggunakan rubrik penilaian yang dikembangkan bersama untuk digunakan oleh semua Pembina. Indikator perilaku untuk setiap tingkatan pembelajaran perlu diidentifikasi, dan dimasukkan ke dalam rubrik, yang disampaikan ke siswa.
Contoh indikator dapat dilihat pada tabel di bawah. Peserta didik sebaiknya dilibatkan juga untuk penilaian-diri dan penilaian sejawat. Dengan demikian, mereka akan merasa diperdayakan.
Penutup
Pendidikan Kepramukaan di DIY untuk membentuk Pramuka Istimewa memerlukan dukungan penanaman nilai-nilai luhur yang digali dari sejarah bersama para tokohnya. Keberhasilannya akan ditentukan keberhasilan penyelenggaraan proses ‘ngerti-ngrasa-nglakoni’ dengan tingkatan belajar ‘menerima-menanggapi-memgharpai-mengorganisasi-karakterisasi nilai-nilai sasaran. Untuk semua ini diperlukan informasi yang memadai yang terkait dengan nilai-nilai sasaran, dan diciptakannya kegiatan yang mendukung, serta dilaksanakan penilaian yang sesuai.
——
Daftar Pustaka
Blidi, S. (2017). Collaborative Learner Autonomy A Mode of Learner Autonomy Development. Singapore: Springer.
Gillies, R.M., Ashman, A.F. &Terwel, J. (Eds). (2008). The Teacher’s Role in Implementing Cooperative Learning in the Classroom. Singapore dll: Springer.
Kearney, E. (2016). Intercultural Learning in Modern Language Education Expanding Meaning-Making Potentials. Toronto: Multilingual matters.
Liddicoat, A.J. & Scarino, A. (2013). Intercultural Language Teaching and Learning. Oxford: Wiley-Balckwell.
Madya, S. & Ishartiwi, I. (2019). Instilling character values in a local-wosdom-based school culture: An Indonesian case study. In Retnowati E. ). Character education for the 21st century global citizens. London & New York: Routledge.
Romiszowski, A.J. (2016). Designing Instructional Systems. London & New York: Routledge.
Slavin. R., Sharan, S., Kagan, S., Hertz-Lazarowitz, R., Webb, C. & Schmuck, R. (1985). Learning to cooperate, cooperating to learn. Singapore: Springer.
_____
Tentang Penulis
Kak Prof. Suwarsih Madya, M.A., Ph.D., Wakil Ketua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Daerah Istimewa Yogyakarta (Kwarda DIY) Bidang Kebudayaan dan Pengembangan Kearifan Lokal.
*** Artikel disampaikan pada kegiatan Siaran Kawruh RRI Pro 4 Yogyakarta, Edisi Kamis 15 April 2021