Tentunya tidak pernah digambarkan dalam mimpi berjambore dunia, bahwa salah satu “rangkaian” jambore adalah evakuasi. Edan, segala hal yang tadinya diproyeksikan masih beberapa hari lagi; antre makan, menyusuri buper, badge swap, juga panorama matahari; tiba-tiba akan segera berakhir.
Pada perjalanan menuju tempat kumpul Food Supply, ada percakapanku bersama rekan angkutku, “Kalau kita besok pindah, kenapa kita masih nge-shift?” Walaupun sesaat kemudian kami menyadari, bahwa justru ini akan menjadi shift terakhir kami, untuk dirasai dan dimaknai.
Tulisan ini membongkar segala perasaan di tulisan sebelumnya, yang ditulis sebelum mendapat kabar ini. Tidak ada lagi ‘beberapa hari lagi’, melainkan ‘besok terakhir’.
Menarik juga akhirnya, beberapa hari lalu bertanya kepada kontingen Inggris Raya, “How do you feel?” untuk perasaan mereka meninggalkan Jambore lebih dulu, saat ini bertanya pada semuanya dan diri sendiri.
***
“Jadi ada yang namanya tahap denial,” pesanku kepada seorang rekan IST.
Merujuk kepada pengumuman evakuasi warga World Scout Jamboree (WSJ) esok, perasaan yang ada tidak lain tidak bukan ialah denial. Dunia perkemahan bahkan sudah terlalu luas untuk jadwal normal, ini bagaimana jika dikurangi 4 hari?
Aku langsung membayangkan hal-hal yang belum terjadi dan kulakukan. Rencana yang disiapkan untuk tiga-empat hari, badge kontingan dan bahan swap yang masih banyak target, atau sesederhana belum siap saja meninggalkan bumi perkemahan.
Langkah lemas membawaku keluar Cafetaria, setelah sesi shift. Aku berteriak, tidak terlalu keras, namun cukup untuk melampiaskan keperluan perasaan. Pikirku, mungkin ini tahap anger.
Tetapi pengelolaan perasaanku tidak menahan tahap ini lama-lama. Langkah kaki harus tetap berlanjut, membawaku ke hal-hal yang harus dilakukan dan sudut yang harus dikunjungi sebelum meninggalkan buper.
Yang Belum Selesai tapi Sudah Selesai
Mata sudah terbuka lagi untuk bangun pagi. Sesaat, langsung menyadari ini bukan lagi di perkemahan. Entah, saat di perkemahan pun aku beberapa kali bermimpi berkemah.
Kali ini, seperti masih berharap pindah kemah hanyalah mimpi. Faktanya aku bangun di suasana dingin AC, kondisi yang janggal untuk konteks hari-hari belakangan. Matahari pun ternyata tidak langsung menyapa ke jendela asrama untuk menyemangati hari.
Rekan kamarku juga menyatakan demikian. Sempat terbangun teringat untuk shift, tetapi sesaat kemudian menyadari. Yang tidak berubah hanya bahwa kami dapat jatah sarapan.
Bahwa kami akan mengantre sarapan prasmanan, yang bedanya rekan makan kanan-kiri hampir pasti Pramuka Indonesia. Ini hari-hari yang belum selesai, tetapi telah menyelesaikan suatu vibe.
Iya, kami telah berada sekitar jam jarak perjalanan dari perkemahan. Sebuah universitas penampung evakuasi kontingen Indonesia untuk beberapa malam ini.
Juga ada skenario penampung adaptasi kegiatan, yaitu tur yang akan dijalani. Praktis, per-IST-an kami juga selesai. Kita lihat saja bagaimana hari-hari hingga 11 Agustus yang tetap dijadwalkan untuk Closing Ceremony itu.
***
Akhirnya suasana 7 dan 8 Agustus menjadi berbeda karena ternyata menjadi malam dan hari terakhir kami di SaeManGeum. Malamnya sudah menjadi makan malam terakhir, para IST standing ovation kepada chef dan tim untuk mengapresiasi penyediaan selama ini.
Buper SaeManGeum dilalui dengan hati-hati, memandang segala sudut yang pernah kulewati. Aku bahkan terjaga dan menjelajah hingga pukul untuk malam terakhir itu.
Paginya juga demikian. Hanya menatap dan diam memandang sunrise terakhir SaeManGeum. Entah bergeming selayaknya tahap depression, tetapi tentunya sebuah terima kasih.
Terima kasih telah jadi tapak ku berkemah terlama sepanjang hidupku (10 malam, sebelumnya 9). Aku menjadi yang terakhir pergi dari tapak kemah nomor 35 itu, tentunya beberapa kali menoleh saat jalan membelakangi itu.
Sebagaimana ini bukan cerita yang direncanakan, tulisan ini tentang apa yang pada akhirnya belum menyelesaikan keseluruhan cerita, tetapi tak ayal telah menyelesaikan sebagian besar aspek cerita.
Ini tentang yang tidak digambarkan oleh para pandu sedunia ketika menggambarkan impian berjambore dunia. Saat ini rasanya seperti mimpi (tidur), yang hanya harus bangun untuk menerima realita acceptance. Kadang tidak buruk juga, misalnya pelangi sore dari jendela asrama sebagai pengganti sunset.
___
Abiyyi Yahya Hakim
International Service Team (IST) 25th WSJ 2023 di bagian Food Supply Chain
Pewarta Istimewa