Kita patut bersyukur, Indonesia punya Gerakan Pramuka. Organisasi pendidikan nonformal yang berfokus pada pembentukan karakter generasi muda seraya melepaskan diri dari sekat-sekat suku, agama, ras, dan golongan. Organisasi yang meneguhkan pendiriannya pada nilai-nilai kebajikan, kemanusiaan, kebangsaan, dan merawat perbedaan di negeri Bhinneka Tunggal Ika.
Senin, 14 Agustus lalu Gerakan Pramuka genap berusia 56 tahun. Usia yang cukup matang untuk sebuah pengabdian. Sejak dibentuk pada 14 Agustus 1961 oleh Bung Karno, ditandai dengan dileburnya seluruh gerakan kepanduan kala itu menjadi satu di bawah naungan Tunas Kelapa, Gerakan Pramuka tak lekang dari pengabdian. Memang, Gerakan Pramuka bukan satu-satunya alasan berdiri tegaknya NKRI hingga saat ini. Tapi tanpa Pramuka, mungkin saja negeri ini tinggal nama.
Berlebihankah? Saya tidak sedang membuat hiperbol.
Data WOSM (World Organization of the Scout Movement, organisasi kepanduan dunia), Gerakan Pramuka memiliki jumlah anggota 22 juta, terbesar di dunia dibanding organisasi-organisasi kepanduan negara mana pun. Artinya, jika penduduk negeri ini 220 juta jiwa, maka 10 persennya adalah Pramuka. Sebuah potensi bonus demografi yang luar biasa. Dalam pandangan saya, Gerakan Pramuka sukses mengoptimalkan potensi tersebut.
Dengan struktur organisasi yang mengakar hingga ke desa-desa, Gerakan Pramuka menyemai benih persatuan, kebinekaan, dan persaudaraan pada 22 juta tunas bangsa lewat kegiatan luar ruangan yang menyenangkan, utamanya perkemahan. Mereka dibukakan matanya untuk melihat Indonesia seluas-luasnya agar kelak tak saling meradang saat menemui perbedaan. Melalui gerakan ini, rasa cinta Tanah Air generasi muda ditanamkan, jiwa kreativitas mereka ditempa, kepekaan sosial mereka diasah.
Di Pramuka, kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika diterapkan melalui tindakan nyata, bukan sekadar teori mengawang-awang di buku-buku pelajaran. Anak-anak Pramuka diajari bersentuhan langsung dengan keragaman dan bercengkerama dengan alam Indonesia yang luas tiada terkira.
Jika Anda berkunjung ke Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur, Jakarta, Anda akan melihat indahnya toleransi terdedah nyata. Rumah-rumah ibadah berdiri berdampingan dengan rukunnya. Masjid, gereja, pura, vihara. Terlebih, saat ini bumi perkemahan kebanggaan Pramuka itu sedang menggelar agenda Raimuna Nasional. Ada 15.000 anak-anak muda usia 16-25 tahun dari seluruh penjuru Nusantara tumplek di sana. Sejauh mata memandang, Anda akan melihat warna-warni Indonesia.
Jawa, Batak, Sunda, Papua, Madura, Ambon, Bugis, Dayak, dan masih banyak lainnya berseliweran. Mereka berinteraksi, saling bertegur sapa, dan bertukuran pengalaman dengan damai. Jika Anda melihat pemandangan seperti itu, sungguh, Anda tak perlu khawatir NKRI akan buyar. Apa yang akan Anda rasakan justru optimisme melambung bahwa Pramuka adalah kata kunci tegaknya NKRI selamanya.
Silakan sebut organisasi kepemudaan yang secara tegas menyatakan diri sebagai organisasi inklusif, tidak membeda-bedakan latar belakang suku, agama, ras, golongan, dan budaya. Rasanya sulit menemukan jawaban selain Pramuka. Pramuka sudah terlanjur mendarah daging di jiwa anak-anak Indonesia.
Tahun lalu, di even Jambore Nasional X yang juga di Bumi Perkemahan Cibubur, saya sempat berbincang dengan pembimbing kontingen luar negeri asal Timor Leste. Soekarno Fernandez namanya. Nama yang katanya diberikan sang ayah karena terinspirasi oleh Presiden RI pertama, Soekarno. Meski sekarang negaranya sudah berpisah dengan NKRI karena alasan politik, namun dia mengaku sulit melupakan Pramuka. Dia bahkan masih hapal semua hal tentang Pramuka, seperti tepuk Pramuka, yel-yel, bahkan himne Pramuka sekali pun.
Tapi Pramuka bukan hanya soal tepuk-tepukan, yel-yel, atau lagu-lagu. Pramuka sejati menempatkan pengabdian untuk sesama, negara, dan Tuhan di atas segalanya. Itulah mengapa Pramuka sejati selalu ada setiap kali negara dan rasa kemanusiaan memanggil.
Mari sejenak melihat. Siapakah yang tergerak secara sukarela turun ke jalan saat Lebaran untuk melancarkan arus mudik di seluruh Indonesia? Pramuka. Siapakah yang sigap turun lapangan membantu bencana alam tanpa dikomando? Pramuka. Siapakah yang memecahkan rekor dunia mengangkat Sang Saka Merah Putih selebar 1.000 meter persegi dari dalam laut? Pramuka. Siapakah yang dengan bangga menikah mengenakan pakaian organisasinya? Pramuka. Dan masih banyak lagi.
Apa yang membuat Pramuka memiliki kepekaan itu adalah nilai-nilai yang ditanamkan dalam Gerakan Pramuka, utamanya Dasa Darma. Bagi Pramuka, Dasa Darma adalah semacam ayat-ayat suci yang harus dipatuhi. Ia ibarat manual book bagi anak-anak Pramuka dalam bertindak-tanduk sehari-hari. Pramuka sejati senantiasa berpegang teguh pada 10 Kode Kehormatan itu dalam setiap ucapan, perbuatan, dan pikirannya.
Menaati Dasa Darma sama artinya dengan menaati perintah Tuhan, sebab pada dasarnya ia merupakan “perasan” ajaran semua agama. Dengan demikian, menjadi Pramuka sejati berarti menjadi hamba Tuhan sekaligus warga negara yang baik seutuhnya. Alasan ini pulalah yang membuat anak-anak Pramuka mudah sekali tersentuh hatinya jika disinggung soal Dasa Darma. Mereka akan tergerak seketika untuk membantu sesama manakala Anda menyebut, misalnya, poin kelima Dasa Darma, “Rela menolong dan tabah.”
Saya bersyukur pernah menjadi bagian dari Pramuka sewaktu masih di pesantren, belasan tahun lalu. Di situlah saya mengecap pendidikan Tunas Kelapa yang “rahmatan lil Indunisiyyin,” rahmat bagi segenap tumpah darah Indonesia. Bahtera Pramuka tengah berlayar mengantarkan anak-anak muda menuju negeri impian: Indonesia kuat, bermartabat, sejahtera dan jaya.
Selamat Hari Pramuka ke-56 dan Raimuna Nasional XI. Tuhan bersama kalian.
Sumber Artikel : Pramuka.or.id