YOGYAKARTA — Materi Kedua dalam kegiatan Pitaran Pelatih yakni membahas seputar Sumbu Filosofi Yogyakarta. Bersama Kak KMT Yudawijaya yang merupakan Carik Kawedanan Hageng Punakawan Datu Dana Suyasa Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat.
Mengawali diskusinya Kak KMT Yudawijaya mengajak kakak-kakak peserta pitaran pelatih meyakpaikan apa yang diketahui kakak-kakak mengenai Sumbu Filosofi.
Ia menjelaskan kenapa kakak-kakak pelatih ini perlu mengetahun tentang Sumbu Filosofi Yogyakarta karena kakak-kakak inilah yang nantinya juga berperan dalam mengantarkan generasi muda ke masa depan. Maka tentunya kita perlu memahami masa lampau untuk dapat menyusun masa depan untuk adik-adik kita.
Dilanjutkan dengan menjelasan tentang berdirinya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dimana terlepas dari peristiwa Palihan Negari, atau dalam makna lain pembagian Kerajaan Mataram yang terjadi tahun 1755.
Peristiwa tersebut menjadikan kerajaan mataram separuhnya menjadi wilayah Kasunanan Surajarta di bawah Pimpinan Susuhunan Paku Buwono III (1749- 1788) yang kemudian dikenal sebagai Kasunanan Surakarta.
Selanjutnya separuh wilayah Mataram lainnya dikenal sebagai Kasultanan Yogyakarta, di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792).
Kak KMT Yudawijaya menyampaikan juga bahwa beberapa saat setelah peristiwa Palihan Negari, Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I mulai membangun keraton. Yang berada di Mataram, yakni sebuah wilayah yang terhampar di lereng selatan Gunung Merapi hingga pantai selatan.
Tidak hanya itu, wilayah keraton diapit 2 sunga yaitu Sungai Progo dan Sungai Opak. Dipusat kota diapit dengan Sungai Code dan Sungai Winongo
Disebutkan tahun 1755 Pangeran Mangkubumi membangun Yogyakarta sebagai ibukota Kasultanan dengan berlandaskan pertimbangan strategis maupun filosofis.
Tata letak ini menghasilkan sebuah bentang Garis Imajiner sebagai dasar dalam membangun Sumbu Filosofi (satu garis lurus yang menghubungkan Panggung Krapyak -Kraton-Tugu).
Manusia jawa percaya, segala yang ada tidak harus kasat mata, inilah hal yang mendasari budaya Jawa. Dalam dokumen unesco dituliskan Sumbu Filosofi merupakan poros cosmologis karena sumbu filosofi merupakan cara pandang orang Jawa tentang pemaknaan kehidupan.
Sebuah pertanyaan disampaikan tentang mengapa pemaknaan Paraning Dumadi tidak dimulai dari keraton ke tugu, tetapi sebaliknya tugu ke keraton.
Kak KMT Yudawijaya menjawab bahwa konsep paraning dumadi merupakan konsep kembalinya manusia ke yang maha kuasa, dimana dilambanhkan melalui keraton yang juga sebagai keberadaan lentera Nyai Miji.
Di Keraton Yogyakarta juga tersimpan pusaka Lenteran Nyai Miji yang dikatakan selalu menyala tidak pernah padam. Lentera ini merupakan simbol atau lambang keabadian berkaitan dengan konsep sangkan paraning dumadi yakni konsep keberadaan manusia hingga kembali kepada yang maha kuasa.