YOGYAKARTA — Tentu saja kita Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jasmerah). Salah satu sejarah yang sangat erat kaitannya dengan Yogyakarta adalah pada tahun 1946 tepatnya tanggal 4 Januari.
Saat itu, ibukota Republik Indonesia di Jakarta berada di bawah pengawasan ketat pasukan NICA dan sekutu. Situasi yang terjadi di Jakarta sudah semakin tidak kondusif. Para pemimpin negara kemudian menggelar rapat terbatas pada 1 Januari 1946 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.
Dari hasil rapat tersebut, pemerintah Indonesia sepakat untuk mengendalikan jalannya pemerintahan dari lingkup daerah. Kemudian pada 2 Januari 1946, Sultan Hamengkubuwono IX saat itu menyarankan agar ibukota RI dipindahkan sementara ke Yogyakarta.
Rencana pun disusun dengan cermat mengingat Jakarta sangat rawan. Malam hari tanggal 3 Januari 1946, Presiden Soekarno dan rombongan berangkat ke Yogyakarta menggunakan Kereta Api Luar Biasa untuk menghindari serangan musuh.
Perjalanan pemimpin negara ini memakan waktu sekitar 15 jam, melewati jalur yang relatif aman. Setibanya di Yogyakarta Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta disambut oleh Sultan Hamengkubuwono IX.
Tanggal 4 Januari 1946 inilah yang menjadikan momen dimana Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia sampai dengan 27 Desember 1949, saat kedaulatan Indonesia diakui kembali.
Seluruh biaya operasional pemerintahan dan para pejabat RI selama berada di Yogyakarta ditanggung oleh Kraton Yogyakarta juga dibantu oleh Kadipaten Pakualaman, lantaran kondisi keuangan negara kala itu sedang sangat buruk, bahkan kosong.
Setelah ibukota resmi pindah ke Yogyakarta, pusat pemerintahan untuk sementara dikendalikan dari Gedung Agung Yogyakarta yang berperan menjadi istana kepresidenan.
Perpindahan ibukota, juga terjadi pada 19 Desember 1948. Pemindahan ibukota dilakukan ke Bukittinggi. Alasan pemindahan, karena terjadi agresi militer Belanda II di Yogyakarta, presiden dan beberapa pejabat negara ditangkap dan diasingkan.
Menteri Syafruddin Prawiranegara yang saat itu sedang berada di Bukittinggi diamanahi presiden untuk menjadi ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pemerintahan darurat diperlukan untuk memperlihatkan kepada negara lain bahwa pemerintah Indonesia masih berdaulat.
Ibukota Indonesia kembali dipindahkan ke Yogyakarta pada 7 Desember 1949. Pada saat itu, Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda ketika Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Dalam konferensi tersebut, terbentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Yogyakarta kembali menjadi ibukota.
Pada 17 Agustus 1950, ibukota kembali dipindahkan ke Jakarta. RIS dibubarkan berganti menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), secara de facto ibukota Indonesia kembali ke Jakarta. (cst)