Tulisan ini merupakan refleksi pelaksanaan Konferensi Pramuka DIY yang baru berlangsung 27 Agustus 2022 lalu. Kebetulan saya memandu jalannya konferensi sebagai moderator.
Merupakan bagian dari Festival Pramuka Jogja yang diselenggarakan oleh Kwarda DIY, konferensi ini bertajuk Pramuka Duta Lingkungan. Spesifikasi pembahasan mengenai krisis sampah di DIY.
Sebanyak 52 peserta, Pramuka Penegak-Pandega dari seluruh (5) kwarcab di DIY berpartisipasi, memenuhi Gedung Aula Kaca Kwarda DIY. Sebagai brainstorming, peserta diberi pemahaman komprehensif mengenai masalah persampahan dalam konteks DIY, langsung oleh Kepala Dinas LHK DIY. Kemudian, narasumber kedua berasal dari komunitas Joglo Farm yang biasa mengelola maggot menjadi pakan ternak.
Sesi selanjutnya adalah Diskusi Panel, di mana peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok, untuk berjejaring dan merumuskan solusi pengelolaan sampah di DIY, dan kontekstualnya di wilayah masing-masing. Materi yang dipaparkan narasumber menjadi sebagian bekal diskusi untuk merumuskan solusi proyektif yang dapat dilakukan Pramuka, khususnya Penegak-Pandega.
Rumusan yang dihasilkan cukup keren, berasal dari tawaran dan harapan solusi dari Penegak-Pandega peserta. Sosialisasi kesadaran, ajakan saling beraksi dari lingkungan terdekat, hingga pentingnya keberadaan bank sampah dan komunitas peduli lingkungan merupakan beberapa rumusan solusi para peserta konferensi kemarin.
Peka dan Peduli Perubahan Global?
Kalimat subjudul ini merupakan tema khusus Kwarda DIY pada Hari Pramuka ke-61. “Pramuka Istimewa Peka dan Peduli Perubahan Global”. Me-rentang sekali, bahwa ada konsep Pramuka Istimewa yang mengusung kelokalan Jogja, disongsong untuk peduli dengan konteks global.
Kesadaran global dengan aksi lokal telah menjadi menjadi common sense yang relevan pada hari ini. WOSM juga telah menyatakan bahwa kepanduan adalah global movement rooted in local communities. Maka ini sebuah tantangan, bisakah Pramuka Istimewa (jiwa Pramuka DIY) benar peka dan peduli perubahan global?
Akses terhadap referensi dan rasa keingintahuan diperlukan untuk membentuk pemahaman global. Sedangkan kesadaran identitas diri dan sekitar diperlukan untuk memanfaatkan peluang aksi lokal. Maka dari itu peserta konferensi juga sempat diingatkan akan kesadaran, mengenai keragaman identitas mereka. Dari kwarcab berbeda, ada yang Penegak, ada yang Pandega dari gudep perti, ada yang anggota Saka Kalpataru, hingga komunitas lingkungan tertentu.
Keragaman identitas dan latar belakang tersebut kemudian menjadi peluang jejaring dan kolaborasi. Dari ‘saya siapa’ menjadi peluang ‘saya bisa apa’, dan semua ‘saya’ itu dikolaborasikan menjadi ‘kita’. Untuk dapat bergerak bersama sebagai ‘kita’, juga sudah ada kesamaan yang jelas yaitu ‘kita Pramuka’.
Jejaring Tanpa Batas, Bakti Tanpa Henti
Konferensi sudah selesai dan terasa singkat, peserta konferensi pun telah kembali ke gudep masing-masing. Tiga jam konferensi dan berjejaring bisa jadi hanya sekadar kegiatan selintas, atau awal dari kesadaran untuk berdampak. Begitu juga solusi yang dirumuskan, bisa jadi hanya menjadi guratan di kertas, atau rancangan proyek konkret.
Penegak dan Pandega, dari amabalan, gudep perti, maupun satuan karya saling bertukar pengalaman dan konteks. Lalu melihat potensi bersama. Dan yang lebih penting, ialah di mana posisi (bakti) Pramuka di masyarakat? Jejaring yang dilakukan di dalam konferensi antara sesama Pramuka, perlu dilanjutkan dengan jejaring di masyarakat luas. Jadilah jejaring tanpa batas.
Pertanyaan pada setiap kegiatan dan karya ialah signifikansi dan keberlanjutannya. Pada optimisme setelah satu konferensi singkat, bisa muncul pertanyaan, “Memangnya berhenti sampai di sini?” Itu tugas para Penegak-Pandega setelah keluar dari Gedung Aula Kaca.
Meminjam tema Hari Pramuka ke-60 tahun lalu, Pramuka juga (diharapkan) berbakti tanpa henti. Dalam konteks Penegak-Pandega ada bina masyarakat dalam tribina, dalam konteks gudep perti ada pengabdian dalam Tri Dharma. Tajuk Pramuka Duta Lingkungan pun mengingat satya ‘menolong sesama hidup’ dan dharma ‘cinta alam’.
Jika telah selalu sadar akan pegangan dan janji itu, disertai dengan referensi dan pemanfaatan peluang kolaborasi, harusnya akhirnya bisa dijawab soal Pramuka yang peka dan peduli perubahan global. Teringat papan gapura kwarcab saya dahulu (Jakarta Selatan), setelah motto ‘satyaku kudarmakan, darmaku kubaktikan, pada jalan keluar kami selalu membaca pesan, “Baktiku Dinantikan.”
Abiyyi Yahya Hakim | Moderator Konferensi Pramuka DIY dalam Festival Pramuka Jogja 2022, Pemangku Adat Racana Gadjah Mada (Pramuka UGM), seorang Pramuka Garuda (Penegak), anggota ATAS #8824, seorang Climate Reality Leader (lulus kursus atas nama Pramuka)