SLEMAN — Denting dawai-ku berbunyi, sambil memastikan pengganti jaga bangsal, ku pesan admin Kwarda, “Ojo ditinggal, aku melu”.
Mengiringi Ka Kwarda Gusti Mangkubumi, bersama Pimpinan Kwarda DIY dan Kwarcab Sleman, kami membagi dua kelompok untuk silaturahmi dan menyampaikan tali kasih dari Keluarga Besar Gerakan Pramuka DIY.
Kelu lidah ini, ketika bergantian mewakili Kwarda mengucapkan kata duka cita dalam bahasa Jawa. Sesak dada ini menerima cerita 5 dari 10 keluarga (karena kami terbagi 2 kelompok) yang kehilangan orang tercintanya, harapannya dan masa depannya.
Aku bisa merasakan bagaimana kehilangan orang yang kita cintai, karena selang 3 bulan yang lalu, ayahanda ku pun kembali pada Allah SWT.
Bahkan sampai saat ini masih terngiang banyak kebaikan dari beliau, kadang aku terngiang melihat kursi bridge hadiahku untuk ulang tahun beliau, maupun TV besar yang sekarang tak ada lagi yang menonton bola di situ.
Masuk dari rumah satu ke yang lain dengan menarik nafas panjang, berbekal tisue yang makin lama makin habis. Haru melihat keikhlasan menerima takdir, kearifan lokal orang Jawa di belahan utara kota Yogyakarta makin terasa.
Mengharukan ketika tahu almarhumah Adik Shofi harus ‘nglajo’ dari Srumbung ke Turi. Menyesakkan ketika tahu pak Prasetya naik motor dari Surabaya demi ingin bertemu almarhumah Zahra.
Rasanya tak bisa bernafas ketika keluarga almarhumah Yasinta cerita tentang program ingin anak dengan menjual rumah. Beku mulut ini menerima cerita almarhumah Arisma meninggal bersama 2 sahabatnya. Speechless ketika tahu Nurazizah juga anak tunggal, dengan ibu single fighter.
Lunglai kaki ini meninggalkan lokasi demi lokasi para korban Turi. Duka mendalam mengiringi langkah kami.
Walaupun mereka bukan Pramuka murni, sesuai UU Gerakan Pramuka 2010. Mereka adalah pramuka wajib sekolah, dengan aturan Permen tahun 2014 yang seharusnya dikaji ulang. Tapi karena banyak konsep yang mengadopsi dari Gerakan Pramuka, membuat kami sangat prihatin dengan semua ini. Sungguh karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Kami semua volunteer dengan konsep sukarela sebagaimana Undang-undang Gerakan Pramuka telah mengaturnya. Tapi rasanya, mereka pun juga anak-anak kami juga. Masyarakat mungkin tidak mengerti beda Gerakan Pramuka dengan pramuka wajib sekolah. Tahunya Pramuka saja.
Pukulan telak bagi kami sebagai volunteer sejati, yang mengedepankan SOP dan beragam PP Kwartir untuk semua kegiatan lapangan, termasuk konsep Manajemen Resiko yang tergulir dlm PP Kwarnas 2007.
Mereka tidak faham bahwa untuk menjadi Pembina yang handal tidak cukup bermodalkan sertifikat KMD saja, tapi mengikuti rutin Pitaran Pembina, mengikuti kursus tambahan, mengikuti kursus lanjutan KML, aktif dlm forum pembina dan akhirnya jam terbang-lah yang menjadikan mereka profesional.
Satu hal lagi, kunjungan kami bersama beberapa pelatih senior yang usianya hampir dua kali usiaku. Juga pimpinan Kwartir Daerah DIY dan Kwarcab Sleman, yang rata2 di atas usiaku dan lebih senior dariku.
Kami benar-benar berduka, sedih tak terkira, ibarat luka yg blm sembuh disiram alkohol 96%. Sungguh, kalau bukan karena panggilan jiwa menjaga karakter anak bangsa, sebagaimana amanat dalam UU tahun 2010, sudah dari dulu kami balik kanan dan hidup nyaman.
#Gerakan_Pramuka_berduka
#bijaklah_bermedsos
___
Ditulis oleh Kak Laelia Anggraini